Selasa, 23 November 2010

Cintailah Tanah Air Melalui BudayaMu!

Pendahuluan
Ini adalah sebuah lagu wajib yang mungkin sudah banyak orang tidak lagi mengenalnya. Melalui lagu wajib ini saya ingin mengajak kita semua merenung apakah rasa penghormatan dan cinta tanah air seperti yang terdapat pada syair ini masih bergaung dengan hebatnya dalam sanubari kita.

Tanah Airku

(Ciptaan : Ibu Sud)

Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan

Cinta akan tanah air mengalahkan cinta akan negeri lain. Orang yang cinta akan tanah airnya tampak dari merasa damai, tenang dan bangga atas apa yang dimiliki oleh bangsanya. Orang-orang yang demikian semakin sulit untuk kita temui di tanah air tercinta ini. Sekarang banyak orang mengagumi negara lain. Bahkan apa yang menjadi tren anak muda indonesia saat ini salalu merujuk pada negera lain. Negara yang selalu menjadi rujukan untuk tren anak muda indonesia adalah Amerika dan sejumlah negara di Eropa dan beberapa negara Asia, seperti Jepang, Korea. Selain itu, ada kebiasaan di antara para anak muda untuk pergi nongkrong di mal-mal. Apakah ini merupakan kebudayaan kita? Bahkan ada anggapan bahwa anak muda yang tidak pernah bahkan jarang ke mal adalah anak yang tidak gaul. Gaya berpakaian juga harus meniru gaya pakaian anak muda dari negara rujukan tren.

Gaya Hidup
Gaya hidup anak muda dan bahkan orang dewasa saat ini menimbulkan keprihatianan yang amat mendalam. Gaya hidup mereka ini membuat bangsa ini sepertinya akan kehilangan jati dirinya. Kehilangan jati diri ini kan berimbas pada penghayatan rasa kesatuan sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan yang khas dan beragam. Apabila hal ini muncul, maka Indonesia sebagai sebuah Negara yang mengaku memiliki kebudayaan yang beragam dan unik akan hilang. Hilangnya sebuah bangsa yang nyatanya masih eksis sungguh suatu yang tidak masuk akal. Akan tetapi, hal itu dimungkinkan karena kita sebagai warga negara indonesia ini tidak lagi menghargai budaya sendiri.
Globalisasi merupakan salah satu alasan yang sering dipakai sebagai kambing hitam atas segala hal yang terjadi pada anak muda kita ini. Haruslah diakui bahwa globalisasi tidak dapat kita pungkiri. Globalisasi memuat di dalamnya gagasan-gagasan yang memungkinkan komunikasi lintas negara bahkan benua dalam waktu yang sama dan sekejab. Hal ini membuat kita memahani bahwa globalisasi menjadikan batas wilayah setiap negara menjadi kabur. Bahkan Globalisasi membawa budaya sendiri yakni budaya pluralistik yang lebih banyak memuat unsur kebudayaan barat. Namun benarkah globalisasi yang menyebabkan semuanya rasa cinta tahah air juga hilang. Menurut hemat penulis, hal itu dapat dibenarkan di satu sisi. Namun di lain sisi, ada juga kesalahan dari kita, sebagai anggota bangsa dan negara indonesia, karena kurang menanamkan rasa cinta atas kebudayaan sendiri sehingga anak muda kita dan bahkan kita justru meniru kebudayaan dari negara lain.

Strategi Membangun Kebudayaan
Rasa cinta akan tanah air sendiri harus dimulai dari diri sendiri. Kita harus menggerakkan dalam diri kita pengenalan akan budaya kita sendiri. Pengenalan atas budaya sendiri, secara perlahan-lahan menciptakan wawasan yang mendalam atas budaya. Wawasan yang mendalam atas budaya menghantar kita untuk semakin mencintai negara ini. Sungguh menarik bahwa indonesia memiliki banyak budaya. Hal ini tidak lepas dari keragaman etnik, ras dan agama di Indonesia ini. Adalah orang yang sempit pikirannya bila hanya terpusat pada budaya suatu suku saja dan bahkan bisa menjadi etnosentris. Memang harus diakui bahwa belum ada satu budaya yang sungguh-sungguh dapat mempersatukan seluruh indonesia ini. Lalu, apa yang harus kita lakukan demi membangun rasa cinta akan tanah air?
• Barakar Pada Budaya Masing-Masing
Ada baiknya, kita pertama-tama kenal budaya kita masing-masing. Setelah kita merasa cukup mengenal bahkan berakar pada budaya sendiri, mengenal kebudayaan orang lain juga merupakan suatu hal yang penting. Orang yang berbudaya bukanlah orang yang hanya terkungkung oleh budayanya sendiri, tetapi juga memiliki cakrawala yang luas atas budaya orang lain. Disinilah kelihatan pentingnya berakar pada budaya sendiri sembari pula mengenal budaya orang lain. Lebih lanjut lagi, dengan berakar pada budaya sendiri memampukan kita pula untuk menghargai kebudayaan orang lain. Perlu diingat bahwa kebudayaan itu muncul demi memanusiakan manusia. Seorang yang memiliki gagasan memanusiakan menusia lain memiliki di dalam dirinya suatu rasa tenggang rasa dan hormat-menghormati terhadap orang yang berbeda dengan dirinya. Gagasan bahwa budaya itu memanusiakan manusia, tentunya harus membangkitkan pula rasa cinta atas budaya lain.
• Wawasan Budaya dan Pengetahuan yang Luas
Seperti yang sudah diutarakan pada bagian sebelumnya bahwa orang yang berbudaya adalah orang yang memiliki wawasan yang luas tentang kebudayaan. Seseorang yang tidak lagi hanya terkungkung oleh sikap etnosentrik adalah orang yang sudah berakar pada budaya sendiri. Hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya kebudayaan itu selalu berkembang dan memanusiakan manusia. Orang yang tidak entnosentris akan melihat bahwa budaya yang di milikinya akan semakin bertambah apabila mengetahuai budaya orang lain pula. Demikian pula, wawasan kebudayaan selalu membuat manusia semakin dimanusiakan. Hal ini dimungkinkan karena melalui interaksi dengan budaya orang lain, pengetahuan akan memanusiakan manusia pun akan semakin bertamabah. Secara sederhana adalah melalui wawasan budaya luas, nilai-nilai kehidupan kita semakin diperkaya dengan adanya nilai-nilai kehidupan yang ada pada kebudayaan orang lain.
Wawasan budaya yang luas tidak diukur berdasarkan banyaknya pengetahuan seseorang atas budaya orang lain, tetapi bagaimana melalui pengetahuan budaya yang luas itu, budayanya sendiri semakin dijunjung tinggi seraya dikembangkan ke arah yang lebih baik. Arah yang lebih baik adalah arah di mana manusia semakin dimanusiakan. Tidaklah pernah suatu budaya berkembang tanpa ada relasi dengan budaya lain, demikian pula bila rasa cinta akan tanah air tidak membuat seseorang menolak belajar tentang banyak hal lain yang berasal dari negara-negara lain. Sehingga globalisasi dapat kita pandang sebagai sarana untuk memiliki wawasan yang luas akan budaya orang lain, dan bukan saja sebagai sesuatu yang buruk bagi perkembangan kebudayaan daerah dan nasional.

Penutup
Gagasan dasar tulisan ini memang mengajak anak muda indonesia mencintai tanah air melalui kebudayaan bangsa indonesia. Lalu, bagaimana dengan kebudayaan bangsa lain? Apakah harus ditolak? Kiranya bukan itu maksud yang hendak dicapai. Maksudnya adalah sebelum kita mengenal bahkan terkagum-kagum dengan kebudayaan lain, kita harus berakar dalam budaya indonesia sendiri kebudayaan sendiri dan ahkirnya bukanlah mengajak anak muda kita menganut etnosentris dan chauvinisme. Wawasan budaya yang luas guna membangun budaya kita ke arah yang lebih baik di mana manusia semakin dimanusiakan.

“Mengayau” Sebagai Kebudayaan Dayak

Pengantar
Setiap kebudayaan tentu berangkat dari pergulatan hidup manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Walaupun dunia ini satu, tetapi budaya yang dihasilkan oleh pergulatan manusia itu berbeda-beda. Tentu, perbedaan ini dipengaruhi oleh banyak hal, baik itu dari pihak manusia yang melihat dan mengolah maupun alam di mana manusia itu hidup. Berkaitan dengan hal itu, manusia dayak juga tentu memiliki kebudayaannya sendiri. Salah satu bentuk kebudayaan dayak adalah tradisi mengayau. Suku dayak sendiri terdiri dari sekitar 400-an subsuku dayak. Diantara 400-an subsuku dayak yang ada tidak semua subsuku dayak memiki kebudayaan (adat) tradisi mengayau, seperti subsuku Jelai di ketapang dan subsuku Pesaguan, dll.
Kata mengayau sendiri bagi sebagian orang dayak maupun non-dayak memiliki arti negatif. Tradisi mengayau sering dipandang sebagai suatu budaya kanibal dan tak berperikemanusiaan. Lain halnya bagi orang dayak yang memahami makna tradisi mengayau itu sendiri, mereka mengakui bahwa di satu pihak tradisi mengayau itu dipandang sebagai suatu kebudayaan yang negatif karena membunuh manusia. Tetapi, dilain pihak tradisi mengayau itu sendiri ternyata memiliki nilai yang sungguh dalam, sehingga mereka tidak serta-merta langsung menilai negatif. Terlepas dari pandangan yang buruk tentang tradisi mengayau, tujuan utama tulisan ini adalah untuk menunjukkan bahwa tradisi mengayau itu pantas disebut sebagai sebuah kebudayaan. Lalu, di mana kira-kira posisi dari tradisi mengayau itu sebagai sebuah kebudayaan.

Pengertian Dan Perkembangan Tradisi Mengayau

Sebelum lebih jauh menelisik tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan. Adalah lebih baik memahami arti dari tradisi mengayau itu sendiri. Setelah melihat arti dari tradisi mengayau perlulah kiranya mengetahui sejarah perkembangan tradisi mengayau itu sendiri. Untuk itulah, dalam penguraian pada bagian ini ada dua bagian penting yang dipaparkan, yakni pengertian dan perkembangan tradisi tradisi mengayau. Pemisahan kedua bagian ini guna membantu pemahaman tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan pada bagian selanjutnya.
1. Pengertian Tradisi Mengayau
Pemahaman dan pengertian tradisi mengayau itu sendiri dalam suku dayak memilik banyak versi sesuai dari subsuku yang ada. Kayau itu berarti mencari, sedangkan ngayau itu merujuk pada orang yang melakukan kegiatan mengayau, baik itu orang tua maupun muda. Bagi dayak Iban, tradisi mengayau itu berarti mencari musuh. Sedangkan bagi orang dayak Mualang, kata kayau berarti kepala musuh. Dari sekian banyak arti yang ada. Arti mengayau dapat diringkas menjadi mencari kepala musuh. Tradisi mengayau sebagai sebuah kegiatan tidak bisa hanya dipahami sebagai tindakan yang tak beraturan. Tradisi mengayau memiliki peraturan yang harus ditaat oleh semua subsuku dayak. Apabila ada yang melanggar peraturan itu maka akan ada tuntan atau balas dendam dari pihak yang dikayau.
2. Perkembangan Tradisi mengayau
Tradisi mengayau itu sulit untuk ditelusuri sejarahnya. Hal ini disebabkan bahwa suku dayak tidak memiliki tradisi tulis yang memungkinkan ada reportasi atas sejarah hidup mereka. Namun, tradisi ini masih dapat kita telusuri dari cerita-cerita rakyat yang ada di dalam masyarakat. Ada cerita rakyat dayak Kanayant’ yang manyatakan bahwa tradisi tradisi mengayau ini sudah ada semajak dahulu. Bahkan ketika hidup manusia masih berdekatan dengan para dewa.
Penelusuran sejarah tradisi mangayau ini dapat dimulai dengan menelusuri data sejarah penyebaran bangsa-bangsa yang ada di seluruh nusantara, secara khusus di pulau kalimantan. Berdasarkan penyebaran suku bangsa yang ada, dipercaya bahwa suku dayak itu berasal dari daratan cina selatan khususnya di daerah Yunan. Perpindahan ini terjadi kira-kira 3000-an tahun yang lalu. Bahkan dalam penyebaran ini terdapat rute masuk yang berbeda. Suku dayak di daerah Kal-bar masuk ke kalimantan tanpa terlebih dahulu singgah di sumatra dan jawa, sedangkan suku dayak di Kal-teng dan Kal-sel terlebih dahulu singgah di sumatra dan jawa. Sehingga menurut Edi Penebang, tradisi tradisi mengayau di kalimantan sudah ada semenjak masa awal itu.
Tetapi pada tahun 1894, pemeritah Hindia Belanda mengudang semua kepala suku (Te/Timenggung) subsuku dayak yang ada di seluruh kalimantan baik itu di bawah pemeritahan Belanda maupun Inggris meliputi Serawak, dll. Pertemuan pertama seluruh suku dayak yang membahas tradisi mengayau itu diadakan di wilayah Kalimantan Tengah, bertempat di Tumbang Anoi. Namun berdasarkan pengakuan dari beberapa kepala suku, tradisi mengayau itu masih berlangsung hingga tahun 1930-an oleh beberapa subsuku dayak seperti subsuku dayak Iban dan Punan, dll. Namun secara perlahan, kehadiran Gereja dan pendidikan menyebabkan tradisi ini lenyap. Dengan ada konflik antara Dayak dan Madura, tradisi ini seperti bangun dari tidurnya dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa dan harta benda.

Tradisi Mengayau Sebagai Sebuah Kebudayaan
Banyak orang memandang tradisi tradisi mengayau itu menyeramkan dan tidak berprikemanusiaan. Oleh karena pandangan yang demikian, ada yang melihat bahwa tradisi tradisi mengayau itu bukanlah suatu manifestasi dari kebudayaan. Namun, ada juga yang masih memandangnya sebagai manifestasi kebudayaan, hanya saja dipandang dalam tataran kebudayaan primitif.
Adalah terlalu berlebihan mereduksi kebudayaan ini hanya sebatas kekerasan. Apalagi penilaian itu hanya dari sudut pandang orang-orang non-dayak. Penting kiranya menilai sesuatu kebudayaan dengan menyertakan juga orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam hal ini, perlu kiranya juga melihat tradisi mengayau dari sudut pandang orang dayak sendiri. Tradisi mengayau bagi orang dayak tetaplah dipandang sebagai sebuah kebudayaan yang memiliki nilai yang dalam. Mengikuti pola pemahaman iceberg tentang kebudayaan, pemahaman orang dayak tentang tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan dapat dibenarkan. Ada beberapa point dalam tradisi mengayau yang ternyata memuat dan menunjukkan bahwa tradisi mengayau adalah sebuah kebudayaan, seperti :
a. Ritual dalam Tradisi mengayau ( Doing )
Tradisi mengayau sebagai suatu tindakan mencari kepala musuh tidaklah dilakukan secara sembarangan dan tanpa mengenal ritual. Secara sederhana ada dua bagian ritual yang harus diperhatikan sebelum dan sesudah tradisi mengayau. Ritual itu biasanya dipimpin oleh seorang iman aya’ (imam besar) di padagi atau panyugu ( tempat keramat ). Ritual pertama adalah nyaru tariu - suatu upacara dimana imam yang memimpin upacara dengan berteriak secara keras sebanyak 3-7 kali. Setiap orang yang mendengarnya bisa memperoleh keberanian untuk berperang, tetapi juga dapat menjadi lemah ( tidak bersemangat ) dan bahkan mati. Tujuannya adalah untuk memanggil kamang (mahluk seperti manusia tetapi tidak kelihatan) untuk mendapatkan kekuatan. Ritual yang kedua adalah nyimah tanah (mencuci tanah dari segala pertanda jahat), notokng (upacara membuang dasa dan menghormati kepala) yang jumlahnya ada tujuh, dan penyasah hutan (upacara melemahkan dan membersihkan diri baik itu pengayau maupun daerah tempak mengyau dari roh-roh jahat). Ada suatu kepercayaan bahwa banyaknya tenkorak kepala manusia pada suatu subsuku akan membawa keuntungan dan berkat. Semakin banyak semakin banyaklah keuntungan dan berkat yang diperoleh.
b. Religiusitas Dalam Tradisi mengayau ( Thinking )
Tradis tradisi mengayau suku dayak tidaklah dapat dilepaskan dari religiusitas orang dayak sendiri. Religiusitasnya tanpa dalam setiap upacara adat yang selalu mengaitkannya dengan “ Yang Ilahi”. Setiap subsuku dayak memiliki kosep ilahi dan nama ilahinya sendiri-sendiri. Ada yang menyebutnya duwata, Jubata dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam tradisi mengayau pun yang ilahi ini tidak dapat dilepaskan, baik sebelum, selama dan sesudah tradisi mengayau.
Pada upacara “nyaru tariu” imam aya’ memanggil kamang untuk membantu orang akan pergi tradisi mengayau. Kamang itu sendiri dalam subsuku kanayant disejajarkan dalam kelompok para ilahi. Ia berada pada tingkatan yang terendah dari kelompok ilahi. Tempat pertama adalah Batara Guru, kemudian disusul secara berjenjang yakni jubata, dewa dan kamang. Penyertaan kamang selama tradisi mengayau dibutuhkan agar selama mangayau mereka dapat menjadi kuat.
Ada kepercayaan suku dayak bahwa apabila orang yang sedang tradisi mengayau itu mati karena ikut tradisi mengayau atau dikayau, maka arwahnya akan langsung masuk surga (subayan). Di subayan, mereka hanya bersenang-sengan saja dan bermain gasing. Jadi ada suatu kehormatan bila mati ketika tradisi mengayau. Orang dayak mempercayai bahwa ketika seorang mati maka mata kiri akan menjadi hantu dan mata kanan akan menjadi manusia di subayan.
Tradisi mengayau ini diakhiri dengan berbagai upacara untuk membersihkan dan melemahkan rasi (pertanda) jahat dari wilayah mereka ketika tradisi mengayau itu dilangsungkan. Karena selama tradisi mengayau tanah telah menjadi panas akibat segala hal yang jahat. Ada beberapa upacara adat yang harus dilakukan, yakni pati nyawa, pungut besi, sangga parang, palangka, panubah, dan teutama penyasah tanah. Pada upacara penyasah tanah, kehadiran yang ilahi sungguh dianggap penting. Salah satu doa kepada jubata berbunyi: “kami memelihara/membantu jubata seperti jubata membantu/memelihara kami”. Jadi Tuhan atau yang ilahi mempunyai tempat penting dalam tradisi tradisi mengayau.
c. Nilai-Nilai Dalam Tradisi mengayau ( Feeling )
Ada sekitar 400-an subsuku dayak yang ada di kalimantan. Dengan demikian, ada sekian banyak pula nilai-nilai yang hendak mereka raih, perjuangkan dan hidupi. Jumlah subsuku yang banyak ini tentu juga memuat banyak nilai yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sudah berang tentu, ada kesulitan untuk mengambil posisi yang tepat atas perumusan nilai-nilai tradisi mengayau itu sendiri. Akan tetapi, tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan memiliki nilai-nilai umum yang hendak diraih, diperjuangkan dan dihidupi. Nilai-nilai itu dapat dilihat dari motif-motif dari tradisi mengayau itu sendiri. Adapun nilai-nilai umum tradisi tradisi mengayau itu adalah :
1. Melindungi pertanian
2. Mendapat tambahan daya, jiwa.
3. Balas dendam
4. Daya tahan berdirinya suatu bangunan
Selain keempat nilai umum ini, ada beberapa nilai yang juga mendapat prioritas dalam tradisi tradisi mengayau, seperti keperkasaan, tanggung jawab, harga diri, kekuasaan, dan juga dapat dinilai sebagai mas kawin pria kepada pihak wanita.
Secara umum, ketiga hal yang telah dibahas baik itu ritual, religiusitas, maupun nilai-nilai dari tradisi mengayau telah memperlihatkan inti penting dari suatu kebudayaan. Suatu kebudayaan menurut teori iceberg terdiri dari doing, thinking dan feeling. Ketiga hal ini tenyata ada pada tradisi tradisi mengayau itu sendiri. Ritual dan juga tindakan mengayau masuk pada bagian doing; religiusitas masuk bagian thinking; dan nilai-nilai tradisi mengayau masuk pada bagian feeling. Dengan demikian, tradisi tradisi mengayau dapat dikelompokan sebagai sebuah kebudayaan.

Posisi Tradisi mengayau Sebagai Sebuah Kebudayaan

Kebudayaan menurut Van Peursen terdiri dari tiga tahap, pertama adalah mitos, kemudian secara berurutan adalah ontologi dan fungsional. Ketiga tahap ini memiliki karkater dan fungsi masing-masing. Lalu, tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan tentu berada pada salah satu dari ketiga tahap ini. Penentuan posisi tradisi mengayau itu sendiri tidak dapat lepas dari karakter yang dimiliki oleh tradisi mengayau itu sendiri.
Dua karakter yang tampak dari tradisi tradisi mengayau yang juga terkait dengan tahap mitos, pertama adalah individu selalu terkait dengan komunitasnya. Komunitas di sini berarti termasuk dalam salah satu subsuku atau juga termasuk dalam salah satu rumah panjang. Rumah panjang dapat didiami oleh beberapa keluarga. Dan setiap subsuku dapat memiliki beberapa rumah panjang. Berkaitan dengan tradisi tradisi mengayau sendiri, tradisi ini tidaklah dapat dilakukan oleh seorang pribadi saja tetapi harus dalam satu kelompok yang terdiri minimal 2-6 orang atau 2-30 orang. Kelompok ini harus berasal dari dari subsuku yang sama atau rumah panjang yang sama.
Kedua adalah keterkaitan baik itu komunitas maupun individu dengan alam. Alam dipandang memiliki relasi yang amat dalam dengan manusia. Relasi itu menuntut keserasian yang perlu dijaga. Kaitan antara alam dan manusia dalam tradisi tradisi mengayau tampak tatkala para pengayau (orang yang mengayau) itu harus memperhatikan suara burung bila ingin berhasil tradisi mengayau. Selain itu, ada gagasan atau kepercayaan bahwa kepala hasil tradisi mengayau itu dapat menghindari atau mengatasi bencana alam, hama maupun penyakit. Hal ini tentu disertai dengan upacara adat tertentu. Jadi, alam selalu memberi pesan bagi manusia dan manusia merasa selalu berkaitan dengan alam.
Ada tiga fungsi mitos menurut Van Peursen, yakni menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-keuatan ajaib, menjamin masa kini, dan memberi pengetahuan tentang dunia. Tradisi tradisi mengayau sendiri tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib. Kekuatan-kekuatan ajaib itu berupa kamang, bala bantuan berupa ranting dan daun-daun, kebal terhadap senjata, dapat menghilang, dll. Tradisi mengayau juga memberi keyakinan bagi masa kini. Sebagai contoh adalah kepala-kepala hasil mengayau itu dapat mengantisipasi dan meredakan bencana alam, hama yang memunahkan tanaman, dan wabah penyakit. Bahkan kepala-kepala hasil mengayau itu menentukan keberhasilan panen. Selain itu, tradisi mengayau pula memberi pengetahuan tentang dunia yang tampak dari kepercayaan orang dayak bahwa kepala merupakan tempat utama sumangat (Jiwa). Apabila seseorang maupun suatu kampung memiliki banyak koleksi tengkorak kepala manusia maka orang itu maupun kampung itu akan memperoleh banyak berkat, keuntungan, dan kekuatan supranatural dalam menghadapi bencana alam maupun serangan dari subsuku lainnya.
Kekuatan magis mau tidak mau merupakan konsekuesi yang sungguh jelas dari tahap mitos. Dan hal inilah tampak dari daya-daya magis dari orang yang mengikuti mengayau, di mana orang itu akan kebal terhadap senjata, dapat mengihilang dll. Selain itu juga, kekuatan magis menjadi point utama yang menonjol dari setiap upacara adat. Ciri-ciri yang ditunjukkan oleh tradisi mengayau memang menempatkannya pada tahap mitos. Namun, tidak berarti bahwa ciri-ciri ontologi dan fungsional juga tampak pada tradisi tradisi mengayau.

Penutup
Tradisi mengayau sebagai salah satu tradisi dayak pada kenyataan memberi image negatif yakni kebudayaan primitif. Gambaran negatif ini disatu sisi benar, tetapi dilain sisi gambaran ini juga salah sehingga harus pula dibenarkan. Apa yang telah penulis upayakan ini merupakan suatu upaya untuk meluruskan pandangan yang kurang tepat itu. Patut disadari bahwa tradisi mengayau walaupun memiliki image yang negatif masih tetap merupakan suatu budaya. Alasannya adalah bahwa dalam tradisi mengayau itu sendiri terdapat hal-hal seperti Ritual, religiusitas, dan nilai-nilai yang memperlihatkan kedudukkannya sebagai sebuah kebudayaan. Selain itu - terlepas bahwa tradisi mengayau memuat ekses berupa menghilangkan nyawa orang lainnya - tradisi mengayau memilikinya logika sendiri.




















Daftar Pustaka


Beda, Adrianus. “Mengayau Dalam Kebudayaan Dayak” dalam Pergulatan Berteologi dan Berfilsafat Seorang Calon Iman, Rofinus Jas SVD (ed). Malang : Seminari Tinggi Surya Wacana SVD. 2008.
Penebang, Edi. Dayak Sakti : Tradisi mengayau, Tariu, Mangkok Merah. Pontianak : Institut Dayakologi. 1998.
Peursen, C. A., Van, Prof., Dr. Strategi Kebudayaan. Jakarta : BPK Gunung Mulia. 1976.