Cerpen



Hidup Itu Butuh “Cinta” Bukan “Kata Cinta”

“Kadang kita berpikir bahwa hidup itu tidak adil. Bayangkan saja, aku kemarin melihat di televisi bagaimana seorang ibu mendapatkan perlakuan yang tidak wajar oleh pihak pengadilan. Hal itu semata-mata karena ia seorang tua renta dan miskin. Inikah yang kita sebut negara yang menjunjung keadilan.  Ah …….. rasanya kita tak pantas lagi hidup di negara yang seperti ini. Wajar saja banyak orang yang mengeluh dan merasa harus merombak negara ini. Revolusi menurut mereka adalah cara yang ampuh. Bagi mereka yang sekeptis dengan negera ini: lebih baik kiranya negara ini pecah atau mereka akan pergi ke luar negeri dan berpindah kewarganegaraan. Beginilah situasi negara kalau tidak menjanjikan untuk hidup adil dan aman”.
“Ahhh sudah! Sudah!.... aku bosan dengan celotehmu yang tak bermutu itu. Kau hanya bisa katakan itu tetapi tidak bisa menjelaskan apa yang sedang kualami ini.”
“Apa boy”, sapa Bondan setelah ia berceloteh tentang politik negeri ini yang carut marut.
“Ada apa dengan Fitri, bukankah kau sudah baikkan dengan dia”.
Jawabku, “Sebenarnya seperti itu, tapi semuanya itu hanya sebuah kata-kata kosong belaka”.
Bondan kemudian menatapku dan semabari menunjukan keheranannya. Lalu ia berkata, “ Memangnya sekarang apa yang telah ia lakukan kepada dirimu”
Kataku, “Bon..   ia telah menghianati cintaku, ia ternyata kembali menjalin hubungan dengan pacarnya yang terdahulu”.
“Hei Gus, cewek di dunia ini bukan hanya satu tetapi masih banyak lagi di dunia ini”.
“Bon mungkin ini karma” lanjutku.
“Karma? Apa hubungan karma dengan apa yang sedang kau alami”.
“Entahlah bon tetapi yang pasti aku dulu pernah menyakiti wanita yang sebenarnya telah memberi banyak hal bagi diriku”.

@@@

                “Bon …… Ini adalah kisahku dengan wanita yang sebenarnya amat berharga bagi hidupku saat ini. Sadar atau tidak sadar aku benar-benar laki-laki pecundang. Benar aku ini pecundang kelas kakap, setidak-tidaknya bagi dia, Ros. Ros adalah teman kelasku. Seorang anak perempuan yang cantik dan baik. Banyak orang yang tertarik kepadanya. Dan harus kuakui, ia adalah bunga desa dan bahkan untuk sekolah. Pokoknya ia perfect. Siiiiiiiiiiiiiiip….lah.
                Bukanya aku sombong. Dari sekian banyak laki-laki yang ada di sekolah, akulah orang yang amat beruntung ketika itu. Sudah banyak laki-laki yang mencoba menarik perhatian dan cintanya, tetapi tak satupun yang berhasil. Nah, tak ayal aku dan beberapa temanku membuat sebuah taruhan. Siapa, yang bisa mendapatkan cinta Roswita Age Kumalawati, akan ditraktir selama sebulan penuh. Perburuan pun dimulai. Perburuan, demikianlah kami menyebut taruhan yang sedang kami lakukan. Aku sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan perburuan itu karena aku sendiri sudah mengenalnya semenjak lama bahkan orang tua kami saling mengenal. Lebih lagi, aku ketika itu sudah punya pacar. Bakal gawat kalau ketahuan oleh pacarku, si Sinta, kalau aku mengejar perempuan lain.
                Apa boleh buat perburuan sudah disepakati. Aku, mau - tidak mau, harus ikut. Oleh karena keengganku dengan berbagai alasan yang telah kusebutkan tadi. Aku menjadi orang yang paling terahkir untuk berusaha mendapatkannya. Teman-temanku satu persatu menyerah. Sakarang tingal aku sendirian yang belum menunjukkan usahaku. Mereka memintaku untuk juga merayu Ros, karena kami semua sudah berjanji.
                Hari itu hari selasa. ‘Ros….’, sapaku.
‘Hei Gus’, sahutnya.
‘Ada hantu dari mana sehingga mau menyapaku’.           
                Harus kuakui bahwa aku dan dia itu kurang begitu dekat, walaupun aku menyukai dengan wajah dan kepribadiannya yang sungguh soleha. Jelas sikapnya beda dengan Sinta, yang judes dan mudah sekali cemburuan.
                Aku awalnya agak malas, tetapi karena aku diawasi oleh teman-temanku, maka aku mencoba membuka pertanyaan mengenai pelajaran yang tidak kumengerti tadi di kelas. Ros memang anak yang cerdas dan tidaklah mengherankan kalau ia sering mendapat juara di kelas. Oleh karena aku masih belum mengerti, maka aku katakan kepadanya bahwa aku akan ke rumahnya sore ini. Sungguh ini suatu tindakan yang konyol. Aku bertanya kepada diriku sendiri, “Apa yang telah kulakukan tadi?”
                Entah bagaimana Ros pun setuju dengan permintaanku. Wah , celaka aku. Sebenarnya aku sudah berjanji pada Sinta bahwa akan mengantarnya ke pasar malam hari ini. Ya sudah, aku batalkan saja dulu janjiku dengan Sinta. Aku harap dia mengerti.
                Sesampainya di rumah aku berusaha memikirkan berbagai cara untuk merayu. Tentu ini sudah melenceng dari inti perjanjianku dengan Ros, yakni belajar. Tapi, pikirku, tak apa-apalah. Sore itu aku pergi ke rumah Ros. Setibanya di sana, ternyata ayah dan ibu Ros pergi ke undangan pernikahan di kampung sebelah. Sedangkan adiknya pergi bermain bersama teman-temannya. Sehingga yang tinggal di rumah itu, ia sendirian. 
                Akupun mulai menanyakan kepada Ros beberapa hal yang belum kumengerti. Seraya kami belajar, aku mulai dengan rayuan gombalku, sambil sedikit senda gurau. Hal yang amat menarik bagiku adalah rayuanku itu membuat pipinya memerah. Haaaahh …. rayuanku kena nih. Setelah sekian lama belajar kami pun berhenti dan aku kembali ke rumah. Namun, ada beberapa hal yang masih mengganjal dibenakku. Mengapa ia mau saja menerima permintaanku untuk belajar bersama di rumahnya? Selain itu,  mengapa wajahnya memerah dan malu-malu ketika aku merayunya. Apa mungkin ia jatuh cinta kepadaku. Ah tidak mungkin. Pikiran-pikiran itu aku tepis jauh-jauh.
                Hari demi hari bukan aku lagi yang meminta belajar besama tetapi Roswitalah yang meminta. Dan, pada hari kamis, bulan september, aku menyatakan cinta kepadanya. Entah bagaimana, ia menyambut cinta itu. Aku berani mengungkapkan cinta itu, karena hubungankuk dengan Sinta juga sendang runyam. Hubunganku dengan Ros diketahui oleh Sinta kemudian ia meninggalkanku. Lagi pula Sinta selama ini mempermainkanku karena ia juga memiliki hubungan gelap teman genkku sendiri.
                Ros dan aku semakin lengket. Tetapi orang tua kami tidak tahu mengenai hubungan yang sedang kami jalani. Aku memang sedikit mencintainya. Kata-kata cintaku itu hanya kareana taruhan. Walaupun demikian,  secara perlahan rasa cinta itu mulai tumbuh. Akan tetapi, aku merasa ada yang salah dengan percintaan ini. Aku cinta karena taruhan. Ada ketakutan dalam diriku kalau-kalau hal yang sesungguhnya disampaikan kepadanya. Hal itupun mulai terwujud. Sinta mengacam akan memberi tahu hal yan sebenarnya kepada Roswita tentang taruhan itu. Sinta meminta aku kembali kepadanya dan melepaskan Roswinta. Memang terasa berat untuk menghianati Roswita, tapi aku terpaksa. Berita bahwa aku kembali menjalin cinta dengan Sinta diketahui juga oleh Ros. Aku dan Ros pun putus. Ros begitu sedih dan sepertinya terpukul.

@@@

“Bon ….”
“Itulah kisah cintaku yang menyedihkan dan kusesali.”
“Gus aku pun turut sedih”, kata bondan menghiburku.
“Tapi, peristiwa yang tlah kulalui dan kualami bersama Fitri, Sinta dan terutama Ros menyadarkan aku akan banyak hal. Sungguh baru kali ini kusadari bahwa mengatakan kata cinta itu mudah tetapi bagaimana aku menghayatinya sungguh menjadi suatu persoalan yang besar. Dan lebih sering kita melakukan hal itu, ‘aku cinta padamu’ atau ‘hai, sayang’, tetapi tahukah kita artinya dan menghayatinya. Kurasa hal itulah yang sering kita lupakan dalam hidup ini. Kita lupa menghayatinya dan melakoni cinta itu.
                Mungkin hal ini juga tepat dengan apa yang kau keluhkan tentang politik negara ini. Para pejabat yang mendapat segala fasilitas mewah dari negeri ini telah lupa akan cinta. Mungkin tidak sepenuhnya sih, sekurang-kurangnya mereka tidak lupa cinta akan diri sendiri dengan memperkaya diri sendiri. Ketika sedang mereka berkampanye, mereka menyerukan bahwa mereka mencintai negara ini dan rakyat negeri ini. Tapi fakta berkata lain setelah mereka terpilih. Yang adalah ini jatahku, ini uangku. Tidak ada lagi cinta bagi negeri dan rakyat ini. Mungkin yang harus dilakukan oleh seluruh pemimpin negeri beserta rakyat negeri ini, yang kerap melakukan kekerasan adalah berani bertindak dan menghayati cinta. Kata-kata mengenai  cinta tidaklah cukup untuk negeri dan semua orang yang kita cintai”.
                Sambil terheran-heran dengan peryataanku barusan, Bodan berkata, “ Gus, aku kira kau benar rakyat dan seluruh pemimpin negeri ini butuh cinta yang sejati. Cinta yang dihayati dalam hidup bukan kata cinta yang ada di bibir”.

@@@

                Inilah liburanku yang pertama setelah selama setahun tak pulang ke kampung karena sekarang aku berkuliah di Surabaya. Ketika berjalan-jalan di kampungku, tak sengaja aku berjumpa dengan Ros. Aku pun menyapa Ros. Ia pun menyahut sapaanku. Sambil berjalan-jalan, kami mengenang masa lalu. Tak lupa juga masa indah kami ketika berpacaran dulu. Ternyata ia mengetahui mengenai taruhan yang aku dan teman-teman lakukan, tetapi ia menyesali mengapa aku memutuskannya. Kemudian kujelaskan mengapa aku dulu memutuskannya. Ia pun paham. Jujur kuakui, selama perjalanan tadi hatiku bergetar.
                Rayuan gombalku pun kuluncurkan kembali, wajahnya kembali memerah. Lalu kepegang tangannya. Ia hanya terdiam saja. Tangannya kuangkat ke atas dan kusentuhkan kedadaku. Aku berkata, “Ros maukah kau jadi pacarku lagi?”
Sambil tertunduk ia berkata, “aku masih tetap mencintaimu sampai saat ini”.     
“Ada satu hal yang aku lupa, Ros sekarang kau kuliah di mana?”
Jawab Ros, “Di Surabaya, ITS”.
“Ros, jadi kita satu kampus.”
                Aku sebenarnya tidaklah berpisah jauh dari Ros. Ia sebenarnya selalu ada di dekatku. Tetapi aku tidak menyadarinya. Demikian juga cinta. Ia tida pernah pergi jauh dari hidup kita. Kita saja yang kerap kali menjauh dari cinta itu, sehingga kita tidak pernah menghidupi dan melakoni cinta. Cinta itu dihayati dengan menghidupi dan melakoni cinta dalan keseharian kita.