Rabu, 16 Maret 2011

Mencari Makna Dan Kesadaran (Permenungan Atas Rasio Dan Afeksi)



          Sukacita, sedih, marah, dan masih banyak lagi berbagai bentuk afeksi di dalam diri manusia. Afeksi merupakan suatu yang wajar. Setiap orang pasti memiliki dan merasakan dan bahkan memikirkannya. Pergulatan hidup manusia selalu melibatkan afeksi. Pentingnya afeksi bagi hidup manusia pun tidak dapat disangsikan lagi. Memang semua orang melihat betapa pentingnya afeksi, tetapi tidak tahu bagaimana harus memperlakukannya. Persoalan ini sudah menjadi masalah semenjak manusia ada di dunia ini. Sampai saat ini, soal ini juga belum rampung. Ilmu-ilmu pengetahuan yang berkembang saat ini sudah banyak membantu kita untuk memahaminya. Usaha itu tetap saja tidak berhasil mengatasi dan menemukan jalan yang tepat bagi afeksi kita. Lebih buruk lagi, afeksi ketika berhadapan dengan ratio kerapkali direpresikan.
          Pe-represi-an ini bukan saja merugikan manusia sebagai individu. Individu lain juga mendapat akibatnya. Sadar atau tidak sadar afeksi kita selalu diatur oleh ratio. Hampir dalam seluruh perilaku kita, ratio mengawasi dan mengatur. Ruang bagi afeksi baru muncul setelah menghadapi sesuatu yang benar-benar di luar nalar atau pun juga yang dianggap tidak memiliki dasar nalarnya. Kedudukan afeksi benar-benar tidak diperhitungkan. Upaya-upaya yang dilakukan demi peningkatan posisi afeksi bagi hidup manusia juga kerap di bawah kawalan ratio. Dengan gerak demikian, bukan tidak mungkin afeksi semakin jauh dari manusia. Cengkeraman ration dirasa sudah jauh dari batas-batas seharusnya. Berangkat dari keadaan ini, berbagai orang mencoba kembali pada afeksi. Adalah salah bila hanya menekankan sisi afeksi saja. Keseimbanganlah yang dituju. Yang diupayakan adalah ratio dan afeksi berjalan dan bergerak pada jalurnya sendir tetapi tidak mengintervensi antara satu dengan lainnya.

Membangun kesadaran
          Pembangunan relasi seimbang ratio dan afeksi memang bukan pekerjaan mudah. Ada banyak pekerjaan keras yang harus dilakukan. Yang pertama dan terutama perlu digalakkan adalah kesadaran. Kesadaran menjadi prioritas karena ratio dan afeksi memiliki jalurnya masing-masing. Jalur-jalur itu memiliki pola dan aturannya sendiri-sendiri. Pengambilalihan jalur lain sudah merupakan bentuk penyimpangan. Rasio dan afeksi harus paham, mengerti, berkomitmen dan tidak mengintervensi satu dengan lainnya. Intinya, rasio dan afeksi sadar akan posisi masingi-masing. Kesadaran merupakan kunci atas semuanya ini. Kesadaran melakukan penertiban atas segala pelanggaran yang dilakukan oleh kedua kemampuan manusia itu.
          Kesadaran sendiri memilik persoalan. Kesadaran itu selalu diidentikan dengan ratio. Selama ini, gambaran inilah yang terbentuk dalam benak setiap orang. Di satu sisi, pemikiran ini benar. Di lain pihak, gambaran atau pemikiran ini suatu yang salah. Meletakkan kesadaran pada soal rasio pada dasarnya sudah merupakan suatu pereduksian atas hidup manusia. Memang Decartes menyatakan bahwa aku ada karena aku berpikir. Singkatnya adanya diriku, kesadaranku hanya sebatas pikiran. Pemahaman Decartes ini juga sudan mewakili gambaran dunia atas kesadaran. Bentuk pemahaman seperti inilah yang harus segera dirubah.
          Kesadaran bukan saja sekedar soal pikiran. Ada banyak dimensi yang harus dipertimbangkan. Rasio atau pikiran merupakan salah satu dimensi kesadaran. Bila kita ingin jujur. Kesadaran itu tidak pernah bisa pihami keseluruhan. Kategori bisa saja dicetuskan untuk menentukan kesadaran. Namun, kesadaran selalu saja luput untuk dipahami dan dikategorikan. Situasi ini tentu tidaklah menguntungkan dan mendukung. Kesadaran memang tidak dapat dipahami dengan kategori. Berhadapan dengan situasi seperti ini, kita perlu tetap mengambil suatu keputusan. Pentingya dilakukan hal ini karena sebagai manusia kita harus memiliki suatu pijakan. Pijakan ini tidaklah sesuatu yang tetap. Melibatkan afeksi dipandang cukup mumpuni dalam memahami dan menghayati kesadaran.

Pengalaman keseharian
          Memang keduanya, rasio dan afeksi, memiliki posisinya sendiri. Keberbedaan di anara keduanya memang cukup lebar. Jarak ini kerap menjadi masalah. Walaupun demikian, ada rujukkan yang dapat kita pakai. Pengalaman justru akan menunjukkan kesatuan keduanya dalam kesadaran.
          Pengalaman itu sering dianggap guru yang paling bijaksana. Banyak orang baru memahami sesuatu setelah sesuatu itu terjadi. Pengalaman itu terkait dengan peristiwa. Sesuatu yang sedang dialami tidak akan memberikan suatu pengertian. Makna dari peristiwa itu akan muncul sesudah selang beberapa waktu. Kesadaran ada pada posisi yang seperti ini. Ia seperti suatu pencerahan. Waktu kemunculannya tidaklah serta-merta dengan peristiwa yang dialami. Kesadaran itu selalu melibatkan pikiran dan hati. Pikiran menerawang dengan penalaran logis sehingga apa yang dihasilkan pun selalu terkait apakah sesuatu itu dapat diterima akal budi. Hati yang lebih terkait dengan persaaan memiliki caranya sendiri. Hati juga melakukan penilaian yang kurang lebih dilakukan oleh rasio. Penilaian hati biasanya berkaitan dengan nurani dan moral. Ciri irasional biasanya muncul dari hati. Keduanya saling melengkapi.
          Sebagai manusia, ada banyak pengalaman keseharin yang kita alami. Baik itu bekerja, belajar, bersantai, bersenda gurau, maupun kegiatan-kegiatan lainnya. Semua kegiatan itu selalu kita lakoni di dalam hidup harian. Banyak hanya berlalu begitu saja. Kesia-siaan kerapkali menjadi buat yang kita peroleh. Penemuan atas makna adalah sesuatu yang sulit dicapai. Semua ini bermula dari ketidaksadaran diri. Membuat diri sadar itu menjadi jawabannya. Usaha ini bukanlah perkara sulit tetapi juga tidak mudah. Satu hal yang dituntut adalah kesetiaan. Konsentrasi atas apa yang dilakukan dan melibatkan hati dan pikiran adalah jalannya. Ada tiga point, yakni konsentrasi, pelibatan hati, dan pikiran. Ketiga hal ini harus setia dilaksanakan saat berhadapan dengan berbagai kegiatan. Memang kita tidak mampu menyertakan ketiga hal ini dalam seluruh kegiatan kita. Tentu, ada beberapa kegiatan yang dapat kita lakukan seperti itu. Pelibatan atas ketiga hal ini menciptakan pengendapan pengalaman. Pengendapan itu kemudian direnungkan. Maknanya akan diperoleh. Kesadaran pun tercipta.
          Hidup itu memang penuh kejutan. Kesadaran yang telah diperoleh tidaklah mampu menjadi sesuatu yang tetap. Perkembangan selalu saja akan terjadi. Anggapan bahwa suatu nilai dan makna itu tetap bukanlah suatu yang tetap. Hidup itu dinamis, demikian pula dengan pikiran dan hati. Apa yang disadari saat ini dapat berupah di lain waktu. Perjalanan memahami pikiran dan hati pada posisi masing-masing tanpa saling mengintervensi tidak akan pernah berhenti. Pencarian dan pencarian terus makna dengan demikian juga tidak akan pernah selesai saat ini maupun esok. Harapan dan usaha yang terus menerus adalah jalan yang cukup tepat.

Selasa, 08 Maret 2011

Sebuah Tinjauan Anomi Kejahatan Atas Film Public Enemies


I. Pengantar

Jhon Dillinger adalah seorang penjahat terkenal Amerika pada era 1930’an. Kejahatannya berkaitan dengan perampokan atas bank-bank. Sudah puluhan bank yang menjadi objek rampokanya. Polisi kewalahan menghadapi ulah Jhon Dilinger dan komplotannya itu. Komplotan Jhon Dillinger ini mengindikasikan adanya sisi anomi. Anomi adalah sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Émile Durkheim untuk menggambarkan keadaan yang kacau, tanpa peraturan. Kata ini berasal dari bahasa Yunani a-: "tanpa", dan nomos: "hukum" atau "peraturan". Untuk menganalisa film dari sisi anomi perlulah kiranya melihat isi singkat atau sinopsi film ini. Kemudian, diikuti dengan menganalisa film dari ciri-ciri anomi pada para aktor, terutama Jhon Dilinger.

II. Sinopsis Film Public Enemies
Film yang disutradarai oleh Michael Mann, diawali dengan sebuah kisah yang tragis, yakni penjebolan penjara oleh John Dillinger dan John Hamilton yang menyamar sebagai petugas tahanan. Misinya ialah membebaskan anggota kemplotan mereka. Misi itu sebenarnya menuai hasil yang bagus, namun misi itu ternodai dengan terjadinya baku tembak sehingga terjadi yang tidak diinginkan. Akan tetapi, komplotan yang tersisa melarikan diri dan bersembunyi di bawah perlindungan mafia di Chicago. Kisah selanjutnya, terjadi sebuah renteran perampokan bank. Menarik bahwa di tengah situasi semacam itu, terjadi kisah asmara antara Dillinger dengan Billie Frechette. Kemudian, mereka berpisah. Melvin Purvis, seorang anggota FBI tak henti-hentinya menburu Dillinger. Polisi akhirnya menemukan Dillinger dan menahannya beserta komlotannya di Tucson. Namun, karena kelicikaannya, Dillinger berhasil melarikan diri. Kejahatan Dillinger telah menyebabkan pemerintah Amerika Serikat untuk mulai mengusut kejahatan lintas Negara bagian dan mulai membahayakan bagi usaha perjudian Nitti yang menguntungkan. Kemudian, Dillinger kembali merampok bank di Sioux Fall bersama komplotannya. Di samping itu, setelah berpisah cukup lama dengan kekasihnya, akhirnya Dillinger bertemu kembali dengan kekasihnya dan ia berencana untuk melakukan perampokkan lagi untuk membiayai hidup mereka selanjutnya.Di tengah situasi seperti itu, ia bertemu kembali dengan Allvin Karpis yang ingin merekrutnya untuk merampok kereta api, namun Dillinger tidak tertarik.Akhirnya, dalam sebuah acara nonton di bioskop, polisi berhasil menembak mati Dillinger.

III. Analisa Film Public Enemies
Adapun ciri-ciri dari seorang atau situasi anomi adalah tidak adanya sturktur hirarki nilai bagi dirinya, tidak adanya konsep yang jelas, keterpecahan pribadi, tidak mempunyai otonomi, memiliki banyak keinginan. Analisa film ini sendiri adalah melihat dan menunjukkan ciri anomi yang ada pada para tokoh, terutama Jhon Dilinger.
a. Tidak Memiliki Struktur Hirarki Dan Konsep Yang Jelas Atas Nilai
Jika kita merujuk pada teori Emile Durkheim tentang anomi, kita akan menemukan bahwa anomi terjadi karena ketidakhadiran atau berkurangnya nilai-nilai standar, dan perasaan alienasi dan ketiadaan tujuan. Hal ini sangat umum terjadi jika masyarakat tersebut mengalami perubahan-perubahan besar dalam situasi ekonomi, terlebih bila terjadi kesenjangan besar antara teori-teori dan nilai-nilai ideologis yang diakui dan dipraktekkan . Tetapi kita tahu bahwa orang yang mengalami anomie terus diancam oleh konflik, yang membuatnya tidak bebas karena ia kehilangan orientasi dalam menentukan hirarki nilai, sehingga ia membutuhkan sosok pengatur dalam hidupnya. Dalam film The Public Enemies memang tidak ditunjukkan secara eksplisit apa penyebab kejahatan yang dilakukan oleh John Dillinger (Johnny Depp) dan kawan-kawannya. Menurut hemat penulis, terjadinya kejahatan besar kemungkinan didorong oleh hilangnya struktur hirarki dan konsep atas nilai tersebut. Kekejaman, sikap tidak adanya belas kasihan yang ditunjukkan dalam film ini bisa menjadi bukti bahwa John Dillinger dan kawan-kawannya telah melupakan arti kebebasan manusia sebagai pribadi dan makhluk komunal, serta menganggap rendah nilai hidup manusia. Padahal, seperti yang diketahui bahwa hidup manusia itu sangat bernilai, tetapi dalam film ini mereka telah bertindak nekad dan kejam. Tak ada penghargaan atas hak azasi manusia.
b. Keterpecahan pribadi
Jhon Dillinger sebagai seorang pribadi kokoh dengan niat dan pendiriannya bahkan tega membunuh orang lain, pada dasarnya juga memiliki sifat sentimentil. Hal ini ditunjukkan dengan hubungan yang dekat dan mesra dengan seorang wanita yang bernama Billie Frechette. Di satu sisi, ia adalah orang yang tidak mengenal belaskasihan, yang adalah cinta, tetapi di lain pihak ia juga memiliki rasa cinta yang ditunjukkan dengan hubungannya dengan Billie. Dengan demikian, Jhon Dilinger ini memiliki pribadi yang terpecah atau mendua yang merupakan salah satu ciri orang yang anomi.
c. Tidak mempunyai otonomi
Seorang yang anomi tidak memiliki otonomi. Maksudnya adalah orang yang demikian merupakan orang terkekang oleh suatu hal. Jhon Dilinger adalah orang bebas secara hukum, bahkan lebih tepat adalah pelawan hukum karena memandang hukum dengan sekehendak hati dan pikirannya saja. Namun, ia bersama komplotannya tertekan karena terus diburu oleh keinginannya dan juga oleh pihak berwajib karena perampokkan yang ia lakukan. Secara sederhananya adalah Jhon Dilinger dan komplotannya tidak memiliki otonomi baik atas dirinya maupun atas masyarakat yang diwakili oleh FBI, yakni negara.
d. Mempunyai banyak keinginan
Memiliki banyak keinginan bukanlah suatu yang salah, tetapi ketika keinginan itu membingungkan seseorang sehingga tidak memiliki prioritas yang jelas, maka keinginan iu telah menyebabkan seseorang atau masyarakat berada dalam situasi anomi. Pada film ini, para tokoh terjebak dalam pelbagai keinginan. Banyaknya keingian dari para tokoh dalam film ini tidaklah ditunjukkan secara jelas, tetapi aktor utama, Jhon Dilinger, memperlihatkan bagaimana gaya hidup mereka yang terkesan mewah. Gaya hidup Jhon Dilinger yang mewah ini tentu membutuhkan banyak uang agar cara hidup demikian dapat terpenuhi. Perampokan yang ia lakukan tampaknya guna memenuhi keinginan-keinginan yang ia miliki itu, dan bukan tidak mungkin juga semua komplotannya.

IV. Penutup
Anomi sebagai suatu teori sosial mengenai keterkekangan pribadi maupun kelompok masyarakat sungguh tampak dalam film ini secara khusus pada tokoh Jhon Dilinger. Anomi sendiri itu sendiri tampak jelas pada tokoh Jhon Dilinger yang berlaku seenaknya tanpa merasa ada hukum yang mengikat. Ia seakan-akanl tidak memiliki kekangan, tetapi pada dasarnya orang berada dalam kekangan sehingga dapat dikatakan tidak bebas.

Daftar Pustaka
Dari buku :
Isdaryanto, Johanes Bosco, Lic. Filsafat sosial, Malang : STFT. Widya Sasana. 2005.

Dari internet :
http://id.wikipedia.org/wiki/Anomie, Diakses tanggal 27 Oktober 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Public_Enemies_(film_2009), Diakses tanggal 1 November 2010.