Dahulu kala ada seorang filsuf yang mengtakan bahwa perubahan itu mutlak. Kemutlakan itu sendiri ialah perubahan. Peryataan ini terkesan absurb. Inilah kenyataan dari hidup ini. Perubahan itu niscaya. Keniscayaan itu rupanya mutlak, tak dapat ditukar.
Segala sesuatu itu berubah. Perubahan itu tidak dapat ditolak. Yang dapat kita lakukan adalah menerima, menghadapi, atau kalah diterpa perubahan. Kalau perubahan niscaya dan tidak dapat dielakan, so mengapa perubahan itu ada. Saudaraku, perubahanlah yang membuat hidup ini menarik dan berarti. Apalah arti dunia ini bila ia tidak ada? Yakinlah, hidup kita penuh dengan kebosanan karena semuanya sama. Bertemu dan beraktivitas dalam keserupaan. Kebosanan akan menghantui dan membunuh kita.
Hidup yang dinamis menciptakan makna. Makna dari statis adalah kehampaan dan kebosanan. Lain halnya, kedinamisan dalam hidup menghadirkan beragam pengalaman. Pengalaman pun menciptakan kualitas dan kuantitas pemahaman. Maksudnya, satu pengalaman bisa ditafsirkan dengan beragam pemahaman. Alhasil, makna pun beraneka. Bagaimana dengan kedinamisan? Kedinamisan hidup memunculkan aneka pengalaman. Pastinya, makna yang dihasilkan pun beragam. Semua ini dapat dimengerti ketika perubahan itu berani direngkuh.
Merengkuh perubahan dengan sendirinya berarti mengimani perubahan. Percaya ia nyata tidak serta-merta berbuah manis. Banyak kerancuan yang muncul. Bagaimana semuanya ini bisa terjadi? Sekarang mari tengok ke dalam diri. Mengimani tanpa berpikir menciptakan kebutaan dan keabsurban. So, bagaimana seharusnya? Perubahan diimani dalam bentuk kesadaran total diri. Mmembiarkan saja perubahan berlalu berarti kita hidup dalam kestatisan. Artinya, kita memilih kehampaan. Akhirnya adalah lenyap. Siapa yang tidak merengkuh perubahan, ia lenyap. Habis hilang dalam lembah hampa makna.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar