Pendahuluan
Ini adalah sebuah lagu wajib yang mungkin sudah banyak orang tidak lagi mengenalnya. Melalui lagu wajib ini saya ingin mengajak kita semua merenung apakah rasa penghormatan dan cinta tanah air seperti yang terdapat pada syair ini masih bergaung dengan hebatnya dalam sanubari kita.
Tanah Airku
(Ciptaan : Ibu Sud)
Tanah airku tidak kulupakan
Kan terkenang selama hidupku
Biarpun saya pergi jauh
Tidak kan hilang dari kalbu
Tanah ku yang kucintai
Engkau kuhargai
Walaupun banyak negri kujalani
Yang masyhur permai dikata orang
Tetapi kampung dan rumahku
Di sanalah kurasa senang
Tanahku tak kulupakan
Engkau kubanggakan
Cinta akan tanah air mengalahkan cinta akan negeri lain. Orang yang cinta akan tanah airnya tampak dari merasa damai, tenang dan bangga atas apa yang dimiliki oleh bangsanya. Orang-orang yang demikian semakin sulit untuk kita temui di tanah air tercinta ini. Sekarang banyak orang mengagumi negara lain. Bahkan apa yang menjadi tren anak muda indonesia saat ini salalu merujuk pada negera lain. Negara yang selalu menjadi rujukan untuk tren anak muda indonesia adalah Amerika dan sejumlah negara di Eropa dan beberapa negara Asia, seperti Jepang, Korea. Selain itu, ada kebiasaan di antara para anak muda untuk pergi nongkrong di mal-mal. Apakah ini merupakan kebudayaan kita? Bahkan ada anggapan bahwa anak muda yang tidak pernah bahkan jarang ke mal adalah anak yang tidak gaul. Gaya berpakaian juga harus meniru gaya pakaian anak muda dari negara rujukan tren.
Gaya Hidup
Gaya hidup anak muda dan bahkan orang dewasa saat ini menimbulkan keprihatianan yang amat mendalam. Gaya hidup mereka ini membuat bangsa ini sepertinya akan kehilangan jati dirinya. Kehilangan jati diri ini kan berimbas pada penghayatan rasa kesatuan sebagai sebuah bangsa yang memiliki kebudayaan yang khas dan beragam. Apabila hal ini muncul, maka Indonesia sebagai sebuah Negara yang mengaku memiliki kebudayaan yang beragam dan unik akan hilang. Hilangnya sebuah bangsa yang nyatanya masih eksis sungguh suatu yang tidak masuk akal. Akan tetapi, hal itu dimungkinkan karena kita sebagai warga negara indonesia ini tidak lagi menghargai budaya sendiri.
Globalisasi merupakan salah satu alasan yang sering dipakai sebagai kambing hitam atas segala hal yang terjadi pada anak muda kita ini. Haruslah diakui bahwa globalisasi tidak dapat kita pungkiri. Globalisasi memuat di dalamnya gagasan-gagasan yang memungkinkan komunikasi lintas negara bahkan benua dalam waktu yang sama dan sekejab. Hal ini membuat kita memahani bahwa globalisasi menjadikan batas wilayah setiap negara menjadi kabur. Bahkan Globalisasi membawa budaya sendiri yakni budaya pluralistik yang lebih banyak memuat unsur kebudayaan barat. Namun benarkah globalisasi yang menyebabkan semuanya rasa cinta tahah air juga hilang. Menurut hemat penulis, hal itu dapat dibenarkan di satu sisi. Namun di lain sisi, ada juga kesalahan dari kita, sebagai anggota bangsa dan negara indonesia, karena kurang menanamkan rasa cinta atas kebudayaan sendiri sehingga anak muda kita dan bahkan kita justru meniru kebudayaan dari negara lain.
Strategi Membangun Kebudayaan
Rasa cinta akan tanah air sendiri harus dimulai dari diri sendiri. Kita harus menggerakkan dalam diri kita pengenalan akan budaya kita sendiri. Pengenalan atas budaya sendiri, secara perlahan-lahan menciptakan wawasan yang mendalam atas budaya. Wawasan yang mendalam atas budaya menghantar kita untuk semakin mencintai negara ini. Sungguh menarik bahwa indonesia memiliki banyak budaya. Hal ini tidak lepas dari keragaman etnik, ras dan agama di Indonesia ini. Adalah orang yang sempit pikirannya bila hanya terpusat pada budaya suatu suku saja dan bahkan bisa menjadi etnosentris. Memang harus diakui bahwa belum ada satu budaya yang sungguh-sungguh dapat mempersatukan seluruh indonesia ini. Lalu, apa yang harus kita lakukan demi membangun rasa cinta akan tanah air?
• Barakar Pada Budaya Masing-Masing
Ada baiknya, kita pertama-tama kenal budaya kita masing-masing. Setelah kita merasa cukup mengenal bahkan berakar pada budaya sendiri, mengenal kebudayaan orang lain juga merupakan suatu hal yang penting. Orang yang berbudaya bukanlah orang yang hanya terkungkung oleh budayanya sendiri, tetapi juga memiliki cakrawala yang luas atas budaya orang lain. Disinilah kelihatan pentingnya berakar pada budaya sendiri sembari pula mengenal budaya orang lain. Lebih lanjut lagi, dengan berakar pada budaya sendiri memampukan kita pula untuk menghargai kebudayaan orang lain. Perlu diingat bahwa kebudayaan itu muncul demi memanusiakan manusia. Seorang yang memiliki gagasan memanusiakan menusia lain memiliki di dalam dirinya suatu rasa tenggang rasa dan hormat-menghormati terhadap orang yang berbeda dengan dirinya. Gagasan bahwa budaya itu memanusiakan manusia, tentunya harus membangkitkan pula rasa cinta atas budaya lain.
• Wawasan Budaya dan Pengetahuan yang Luas
Seperti yang sudah diutarakan pada bagian sebelumnya bahwa orang yang berbudaya adalah orang yang memiliki wawasan yang luas tentang kebudayaan. Seseorang yang tidak lagi hanya terkungkung oleh sikap etnosentrik adalah orang yang sudah berakar pada budaya sendiri. Hal ini dimungkinkan karena pada dasarnya kebudayaan itu selalu berkembang dan memanusiakan manusia. Orang yang tidak entnosentris akan melihat bahwa budaya yang di milikinya akan semakin bertambah apabila mengetahuai budaya orang lain pula. Demikian pula, wawasan kebudayaan selalu membuat manusia semakin dimanusiakan. Hal ini dimungkinkan karena melalui interaksi dengan budaya orang lain, pengetahuan akan memanusiakan manusia pun akan semakin bertamabah. Secara sederhana adalah melalui wawasan budaya luas, nilai-nilai kehidupan kita semakin diperkaya dengan adanya nilai-nilai kehidupan yang ada pada kebudayaan orang lain.
Wawasan budaya yang luas tidak diukur berdasarkan banyaknya pengetahuan seseorang atas budaya orang lain, tetapi bagaimana melalui pengetahuan budaya yang luas itu, budayanya sendiri semakin dijunjung tinggi seraya dikembangkan ke arah yang lebih baik. Arah yang lebih baik adalah arah di mana manusia semakin dimanusiakan. Tidaklah pernah suatu budaya berkembang tanpa ada relasi dengan budaya lain, demikian pula bila rasa cinta akan tanah air tidak membuat seseorang menolak belajar tentang banyak hal lain yang berasal dari negara-negara lain. Sehingga globalisasi dapat kita pandang sebagai sarana untuk memiliki wawasan yang luas akan budaya orang lain, dan bukan saja sebagai sesuatu yang buruk bagi perkembangan kebudayaan daerah dan nasional.
Penutup
Gagasan dasar tulisan ini memang mengajak anak muda indonesia mencintai tanah air melalui kebudayaan bangsa indonesia. Lalu, bagaimana dengan kebudayaan bangsa lain? Apakah harus ditolak? Kiranya bukan itu maksud yang hendak dicapai. Maksudnya adalah sebelum kita mengenal bahkan terkagum-kagum dengan kebudayaan lain, kita harus berakar dalam budaya indonesia sendiri kebudayaan sendiri dan ahkirnya bukanlah mengajak anak muda kita menganut etnosentris dan chauvinisme. Wawasan budaya yang luas guna membangun budaya kita ke arah yang lebih baik di mana manusia semakin dimanusiakan.
Artikel-artikel yang ada ada di blog ini merupakan suatu kumpulan pemikiran. kerapkali pikiran-pikiran itu membutuhkan tempat pewujudannya. Blog ini adalah bentuk pewujudan pikiran dan perasaan penulis ketika mengamati sesuatu. Harapan dibalik semua artikel ini, agar hidup, pengalaman, dan refleksi itu terus memiliki makna dan dibagikan kepada sesama. apa yang dibagikan tidak akan pernah hilang dan terterabut.
Selasa, 23 November 2010
“Mengayau” Sebagai Kebudayaan Dayak
Pengantar
Setiap kebudayaan tentu berangkat dari pergulatan hidup manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Walaupun dunia ini satu, tetapi budaya yang dihasilkan oleh pergulatan manusia itu berbeda-beda. Tentu, perbedaan ini dipengaruhi oleh banyak hal, baik itu dari pihak manusia yang melihat dan mengolah maupun alam di mana manusia itu hidup. Berkaitan dengan hal itu, manusia dayak juga tentu memiliki kebudayaannya sendiri. Salah satu bentuk kebudayaan dayak adalah tradisi mengayau. Suku dayak sendiri terdiri dari sekitar 400-an subsuku dayak. Diantara 400-an subsuku dayak yang ada tidak semua subsuku dayak memiki kebudayaan (adat) tradisi mengayau, seperti subsuku Jelai di ketapang dan subsuku Pesaguan, dll.
Kata mengayau sendiri bagi sebagian orang dayak maupun non-dayak memiliki arti negatif. Tradisi mengayau sering dipandang sebagai suatu budaya kanibal dan tak berperikemanusiaan. Lain halnya bagi orang dayak yang memahami makna tradisi mengayau itu sendiri, mereka mengakui bahwa di satu pihak tradisi mengayau itu dipandang sebagai suatu kebudayaan yang negatif karena membunuh manusia. Tetapi, dilain pihak tradisi mengayau itu sendiri ternyata memiliki nilai yang sungguh dalam, sehingga mereka tidak serta-merta langsung menilai negatif. Terlepas dari pandangan yang buruk tentang tradisi mengayau, tujuan utama tulisan ini adalah untuk menunjukkan bahwa tradisi mengayau itu pantas disebut sebagai sebuah kebudayaan. Lalu, di mana kira-kira posisi dari tradisi mengayau itu sebagai sebuah kebudayaan.
Pengertian Dan Perkembangan Tradisi Mengayau
Sebelum lebih jauh menelisik tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan. Adalah lebih baik memahami arti dari tradisi mengayau itu sendiri. Setelah melihat arti dari tradisi mengayau perlulah kiranya mengetahui sejarah perkembangan tradisi mengayau itu sendiri. Untuk itulah, dalam penguraian pada bagian ini ada dua bagian penting yang dipaparkan, yakni pengertian dan perkembangan tradisi tradisi mengayau. Pemisahan kedua bagian ini guna membantu pemahaman tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan pada bagian selanjutnya.
1. Pengertian Tradisi Mengayau
Pemahaman dan pengertian tradisi mengayau itu sendiri dalam suku dayak memilik banyak versi sesuai dari subsuku yang ada. Kayau itu berarti mencari, sedangkan ngayau itu merujuk pada orang yang melakukan kegiatan mengayau, baik itu orang tua maupun muda. Bagi dayak Iban, tradisi mengayau itu berarti mencari musuh. Sedangkan bagi orang dayak Mualang, kata kayau berarti kepala musuh. Dari sekian banyak arti yang ada. Arti mengayau dapat diringkas menjadi mencari kepala musuh. Tradisi mengayau sebagai sebuah kegiatan tidak bisa hanya dipahami sebagai tindakan yang tak beraturan. Tradisi mengayau memiliki peraturan yang harus ditaat oleh semua subsuku dayak. Apabila ada yang melanggar peraturan itu maka akan ada tuntan atau balas dendam dari pihak yang dikayau.
2. Perkembangan Tradisi mengayau
Tradisi mengayau itu sulit untuk ditelusuri sejarahnya. Hal ini disebabkan bahwa suku dayak tidak memiliki tradisi tulis yang memungkinkan ada reportasi atas sejarah hidup mereka. Namun, tradisi ini masih dapat kita telusuri dari cerita-cerita rakyat yang ada di dalam masyarakat. Ada cerita rakyat dayak Kanayant’ yang manyatakan bahwa tradisi tradisi mengayau ini sudah ada semajak dahulu. Bahkan ketika hidup manusia masih berdekatan dengan para dewa.
Penelusuran sejarah tradisi mangayau ini dapat dimulai dengan menelusuri data sejarah penyebaran bangsa-bangsa yang ada di seluruh nusantara, secara khusus di pulau kalimantan. Berdasarkan penyebaran suku bangsa yang ada, dipercaya bahwa suku dayak itu berasal dari daratan cina selatan khususnya di daerah Yunan. Perpindahan ini terjadi kira-kira 3000-an tahun yang lalu. Bahkan dalam penyebaran ini terdapat rute masuk yang berbeda. Suku dayak di daerah Kal-bar masuk ke kalimantan tanpa terlebih dahulu singgah di sumatra dan jawa, sedangkan suku dayak di Kal-teng dan Kal-sel terlebih dahulu singgah di sumatra dan jawa. Sehingga menurut Edi Penebang, tradisi tradisi mengayau di kalimantan sudah ada semenjak masa awal itu.
Tetapi pada tahun 1894, pemeritah Hindia Belanda mengudang semua kepala suku (Te/Timenggung) subsuku dayak yang ada di seluruh kalimantan baik itu di bawah pemeritahan Belanda maupun Inggris meliputi Serawak, dll. Pertemuan pertama seluruh suku dayak yang membahas tradisi mengayau itu diadakan di wilayah Kalimantan Tengah, bertempat di Tumbang Anoi. Namun berdasarkan pengakuan dari beberapa kepala suku, tradisi mengayau itu masih berlangsung hingga tahun 1930-an oleh beberapa subsuku dayak seperti subsuku dayak Iban dan Punan, dll. Namun secara perlahan, kehadiran Gereja dan pendidikan menyebabkan tradisi ini lenyap. Dengan ada konflik antara Dayak dan Madura, tradisi ini seperti bangun dari tidurnya dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa dan harta benda.
Tradisi Mengayau Sebagai Sebuah Kebudayaan
Banyak orang memandang tradisi tradisi mengayau itu menyeramkan dan tidak berprikemanusiaan. Oleh karena pandangan yang demikian, ada yang melihat bahwa tradisi tradisi mengayau itu bukanlah suatu manifestasi dari kebudayaan. Namun, ada juga yang masih memandangnya sebagai manifestasi kebudayaan, hanya saja dipandang dalam tataran kebudayaan primitif.
Adalah terlalu berlebihan mereduksi kebudayaan ini hanya sebatas kekerasan. Apalagi penilaian itu hanya dari sudut pandang orang-orang non-dayak. Penting kiranya menilai sesuatu kebudayaan dengan menyertakan juga orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam hal ini, perlu kiranya juga melihat tradisi mengayau dari sudut pandang orang dayak sendiri. Tradisi mengayau bagi orang dayak tetaplah dipandang sebagai sebuah kebudayaan yang memiliki nilai yang dalam. Mengikuti pola pemahaman iceberg tentang kebudayaan, pemahaman orang dayak tentang tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan dapat dibenarkan. Ada beberapa point dalam tradisi mengayau yang ternyata memuat dan menunjukkan bahwa tradisi mengayau adalah sebuah kebudayaan, seperti :
a. Ritual dalam Tradisi mengayau ( Doing )
Tradisi mengayau sebagai suatu tindakan mencari kepala musuh tidaklah dilakukan secara sembarangan dan tanpa mengenal ritual. Secara sederhana ada dua bagian ritual yang harus diperhatikan sebelum dan sesudah tradisi mengayau. Ritual itu biasanya dipimpin oleh seorang iman aya’ (imam besar) di padagi atau panyugu ( tempat keramat ). Ritual pertama adalah nyaru tariu - suatu upacara dimana imam yang memimpin upacara dengan berteriak secara keras sebanyak 3-7 kali. Setiap orang yang mendengarnya bisa memperoleh keberanian untuk berperang, tetapi juga dapat menjadi lemah ( tidak bersemangat ) dan bahkan mati. Tujuannya adalah untuk memanggil kamang (mahluk seperti manusia tetapi tidak kelihatan) untuk mendapatkan kekuatan. Ritual yang kedua adalah nyimah tanah (mencuci tanah dari segala pertanda jahat), notokng (upacara membuang dasa dan menghormati kepala) yang jumlahnya ada tujuh, dan penyasah hutan (upacara melemahkan dan membersihkan diri baik itu pengayau maupun daerah tempak mengyau dari roh-roh jahat). Ada suatu kepercayaan bahwa banyaknya tenkorak kepala manusia pada suatu subsuku akan membawa keuntungan dan berkat. Semakin banyak semakin banyaklah keuntungan dan berkat yang diperoleh.
b. Religiusitas Dalam Tradisi mengayau ( Thinking )
Tradis tradisi mengayau suku dayak tidaklah dapat dilepaskan dari religiusitas orang dayak sendiri. Religiusitasnya tanpa dalam setiap upacara adat yang selalu mengaitkannya dengan “ Yang Ilahi”. Setiap subsuku dayak memiliki kosep ilahi dan nama ilahinya sendiri-sendiri. Ada yang menyebutnya duwata, Jubata dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam tradisi mengayau pun yang ilahi ini tidak dapat dilepaskan, baik sebelum, selama dan sesudah tradisi mengayau.
Pada upacara “nyaru tariu” imam aya’ memanggil kamang untuk membantu orang akan pergi tradisi mengayau. Kamang itu sendiri dalam subsuku kanayant disejajarkan dalam kelompok para ilahi. Ia berada pada tingkatan yang terendah dari kelompok ilahi. Tempat pertama adalah Batara Guru, kemudian disusul secara berjenjang yakni jubata, dewa dan kamang. Penyertaan kamang selama tradisi mengayau dibutuhkan agar selama mangayau mereka dapat menjadi kuat.
Ada kepercayaan suku dayak bahwa apabila orang yang sedang tradisi mengayau itu mati karena ikut tradisi mengayau atau dikayau, maka arwahnya akan langsung masuk surga (subayan). Di subayan, mereka hanya bersenang-sengan saja dan bermain gasing. Jadi ada suatu kehormatan bila mati ketika tradisi mengayau. Orang dayak mempercayai bahwa ketika seorang mati maka mata kiri akan menjadi hantu dan mata kanan akan menjadi manusia di subayan.
Tradisi mengayau ini diakhiri dengan berbagai upacara untuk membersihkan dan melemahkan rasi (pertanda) jahat dari wilayah mereka ketika tradisi mengayau itu dilangsungkan. Karena selama tradisi mengayau tanah telah menjadi panas akibat segala hal yang jahat. Ada beberapa upacara adat yang harus dilakukan, yakni pati nyawa, pungut besi, sangga parang, palangka, panubah, dan teutama penyasah tanah. Pada upacara penyasah tanah, kehadiran yang ilahi sungguh dianggap penting. Salah satu doa kepada jubata berbunyi: “kami memelihara/membantu jubata seperti jubata membantu/memelihara kami”. Jadi Tuhan atau yang ilahi mempunyai tempat penting dalam tradisi tradisi mengayau.
c. Nilai-Nilai Dalam Tradisi mengayau ( Feeling )
Ada sekitar 400-an subsuku dayak yang ada di kalimantan. Dengan demikian, ada sekian banyak pula nilai-nilai yang hendak mereka raih, perjuangkan dan hidupi. Jumlah subsuku yang banyak ini tentu juga memuat banyak nilai yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sudah berang tentu, ada kesulitan untuk mengambil posisi yang tepat atas perumusan nilai-nilai tradisi mengayau itu sendiri. Akan tetapi, tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan memiliki nilai-nilai umum yang hendak diraih, diperjuangkan dan dihidupi. Nilai-nilai itu dapat dilihat dari motif-motif dari tradisi mengayau itu sendiri. Adapun nilai-nilai umum tradisi tradisi mengayau itu adalah :
1. Melindungi pertanian
2. Mendapat tambahan daya, jiwa.
3. Balas dendam
4. Daya tahan berdirinya suatu bangunan
Selain keempat nilai umum ini, ada beberapa nilai yang juga mendapat prioritas dalam tradisi tradisi mengayau, seperti keperkasaan, tanggung jawab, harga diri, kekuasaan, dan juga dapat dinilai sebagai mas kawin pria kepada pihak wanita.
Secara umum, ketiga hal yang telah dibahas baik itu ritual, religiusitas, maupun nilai-nilai dari tradisi mengayau telah memperlihatkan inti penting dari suatu kebudayaan. Suatu kebudayaan menurut teori iceberg terdiri dari doing, thinking dan feeling. Ketiga hal ini tenyata ada pada tradisi tradisi mengayau itu sendiri. Ritual dan juga tindakan mengayau masuk pada bagian doing; religiusitas masuk bagian thinking; dan nilai-nilai tradisi mengayau masuk pada bagian feeling. Dengan demikian, tradisi tradisi mengayau dapat dikelompokan sebagai sebuah kebudayaan.
Posisi Tradisi mengayau Sebagai Sebuah Kebudayaan
Kebudayaan menurut Van Peursen terdiri dari tiga tahap, pertama adalah mitos, kemudian secara berurutan adalah ontologi dan fungsional. Ketiga tahap ini memiliki karkater dan fungsi masing-masing. Lalu, tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan tentu berada pada salah satu dari ketiga tahap ini. Penentuan posisi tradisi mengayau itu sendiri tidak dapat lepas dari karakter yang dimiliki oleh tradisi mengayau itu sendiri.
Dua karakter yang tampak dari tradisi tradisi mengayau yang juga terkait dengan tahap mitos, pertama adalah individu selalu terkait dengan komunitasnya. Komunitas di sini berarti termasuk dalam salah satu subsuku atau juga termasuk dalam salah satu rumah panjang. Rumah panjang dapat didiami oleh beberapa keluarga. Dan setiap subsuku dapat memiliki beberapa rumah panjang. Berkaitan dengan tradisi tradisi mengayau sendiri, tradisi ini tidaklah dapat dilakukan oleh seorang pribadi saja tetapi harus dalam satu kelompok yang terdiri minimal 2-6 orang atau 2-30 orang. Kelompok ini harus berasal dari dari subsuku yang sama atau rumah panjang yang sama.
Kedua adalah keterkaitan baik itu komunitas maupun individu dengan alam. Alam dipandang memiliki relasi yang amat dalam dengan manusia. Relasi itu menuntut keserasian yang perlu dijaga. Kaitan antara alam dan manusia dalam tradisi tradisi mengayau tampak tatkala para pengayau (orang yang mengayau) itu harus memperhatikan suara burung bila ingin berhasil tradisi mengayau. Selain itu, ada gagasan atau kepercayaan bahwa kepala hasil tradisi mengayau itu dapat menghindari atau mengatasi bencana alam, hama maupun penyakit. Hal ini tentu disertai dengan upacara adat tertentu. Jadi, alam selalu memberi pesan bagi manusia dan manusia merasa selalu berkaitan dengan alam.
Ada tiga fungsi mitos menurut Van Peursen, yakni menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-keuatan ajaib, menjamin masa kini, dan memberi pengetahuan tentang dunia. Tradisi tradisi mengayau sendiri tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib. Kekuatan-kekuatan ajaib itu berupa kamang, bala bantuan berupa ranting dan daun-daun, kebal terhadap senjata, dapat menghilang, dll. Tradisi mengayau juga memberi keyakinan bagi masa kini. Sebagai contoh adalah kepala-kepala hasil mengayau itu dapat mengantisipasi dan meredakan bencana alam, hama yang memunahkan tanaman, dan wabah penyakit. Bahkan kepala-kepala hasil mengayau itu menentukan keberhasilan panen. Selain itu, tradisi mengayau pula memberi pengetahuan tentang dunia yang tampak dari kepercayaan orang dayak bahwa kepala merupakan tempat utama sumangat (Jiwa). Apabila seseorang maupun suatu kampung memiliki banyak koleksi tengkorak kepala manusia maka orang itu maupun kampung itu akan memperoleh banyak berkat, keuntungan, dan kekuatan supranatural dalam menghadapi bencana alam maupun serangan dari subsuku lainnya.
Kekuatan magis mau tidak mau merupakan konsekuesi yang sungguh jelas dari tahap mitos. Dan hal inilah tampak dari daya-daya magis dari orang yang mengikuti mengayau, di mana orang itu akan kebal terhadap senjata, dapat mengihilang dll. Selain itu juga, kekuatan magis menjadi point utama yang menonjol dari setiap upacara adat. Ciri-ciri yang ditunjukkan oleh tradisi mengayau memang menempatkannya pada tahap mitos. Namun, tidak berarti bahwa ciri-ciri ontologi dan fungsional juga tampak pada tradisi tradisi mengayau.
Penutup
Tradisi mengayau sebagai salah satu tradisi dayak pada kenyataan memberi image negatif yakni kebudayaan primitif. Gambaran negatif ini disatu sisi benar, tetapi dilain sisi gambaran ini juga salah sehingga harus pula dibenarkan. Apa yang telah penulis upayakan ini merupakan suatu upaya untuk meluruskan pandangan yang kurang tepat itu. Patut disadari bahwa tradisi mengayau walaupun memiliki image yang negatif masih tetap merupakan suatu budaya. Alasannya adalah bahwa dalam tradisi mengayau itu sendiri terdapat hal-hal seperti Ritual, religiusitas, dan nilai-nilai yang memperlihatkan kedudukkannya sebagai sebuah kebudayaan. Selain itu - terlepas bahwa tradisi mengayau memuat ekses berupa menghilangkan nyawa orang lainnya - tradisi mengayau memilikinya logika sendiri.
Daftar Pustaka
Beda, Adrianus. “Mengayau Dalam Kebudayaan Dayak” dalam Pergulatan Berteologi dan Berfilsafat Seorang Calon Iman, Rofinus Jas SVD (ed). Malang : Seminari Tinggi Surya Wacana SVD. 2008.
Penebang, Edi. Dayak Sakti : Tradisi mengayau, Tariu, Mangkok Merah. Pontianak : Institut Dayakologi. 1998.
Peursen, C. A., Van, Prof., Dr. Strategi Kebudayaan. Jakarta : BPK Gunung Mulia. 1976.
Setiap kebudayaan tentu berangkat dari pergulatan hidup manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia. Walaupun dunia ini satu, tetapi budaya yang dihasilkan oleh pergulatan manusia itu berbeda-beda. Tentu, perbedaan ini dipengaruhi oleh banyak hal, baik itu dari pihak manusia yang melihat dan mengolah maupun alam di mana manusia itu hidup. Berkaitan dengan hal itu, manusia dayak juga tentu memiliki kebudayaannya sendiri. Salah satu bentuk kebudayaan dayak adalah tradisi mengayau. Suku dayak sendiri terdiri dari sekitar 400-an subsuku dayak. Diantara 400-an subsuku dayak yang ada tidak semua subsuku dayak memiki kebudayaan (adat) tradisi mengayau, seperti subsuku Jelai di ketapang dan subsuku Pesaguan, dll.
Kata mengayau sendiri bagi sebagian orang dayak maupun non-dayak memiliki arti negatif. Tradisi mengayau sering dipandang sebagai suatu budaya kanibal dan tak berperikemanusiaan. Lain halnya bagi orang dayak yang memahami makna tradisi mengayau itu sendiri, mereka mengakui bahwa di satu pihak tradisi mengayau itu dipandang sebagai suatu kebudayaan yang negatif karena membunuh manusia. Tetapi, dilain pihak tradisi mengayau itu sendiri ternyata memiliki nilai yang sungguh dalam, sehingga mereka tidak serta-merta langsung menilai negatif. Terlepas dari pandangan yang buruk tentang tradisi mengayau, tujuan utama tulisan ini adalah untuk menunjukkan bahwa tradisi mengayau itu pantas disebut sebagai sebuah kebudayaan. Lalu, di mana kira-kira posisi dari tradisi mengayau itu sebagai sebuah kebudayaan.
Pengertian Dan Perkembangan Tradisi Mengayau
Sebelum lebih jauh menelisik tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan. Adalah lebih baik memahami arti dari tradisi mengayau itu sendiri. Setelah melihat arti dari tradisi mengayau perlulah kiranya mengetahui sejarah perkembangan tradisi mengayau itu sendiri. Untuk itulah, dalam penguraian pada bagian ini ada dua bagian penting yang dipaparkan, yakni pengertian dan perkembangan tradisi tradisi mengayau. Pemisahan kedua bagian ini guna membantu pemahaman tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan pada bagian selanjutnya.
1. Pengertian Tradisi Mengayau
Pemahaman dan pengertian tradisi mengayau itu sendiri dalam suku dayak memilik banyak versi sesuai dari subsuku yang ada. Kayau itu berarti mencari, sedangkan ngayau itu merujuk pada orang yang melakukan kegiatan mengayau, baik itu orang tua maupun muda. Bagi dayak Iban, tradisi mengayau itu berarti mencari musuh. Sedangkan bagi orang dayak Mualang, kata kayau berarti kepala musuh. Dari sekian banyak arti yang ada. Arti mengayau dapat diringkas menjadi mencari kepala musuh. Tradisi mengayau sebagai sebuah kegiatan tidak bisa hanya dipahami sebagai tindakan yang tak beraturan. Tradisi mengayau memiliki peraturan yang harus ditaat oleh semua subsuku dayak. Apabila ada yang melanggar peraturan itu maka akan ada tuntan atau balas dendam dari pihak yang dikayau.
2. Perkembangan Tradisi mengayau
Tradisi mengayau itu sulit untuk ditelusuri sejarahnya. Hal ini disebabkan bahwa suku dayak tidak memiliki tradisi tulis yang memungkinkan ada reportasi atas sejarah hidup mereka. Namun, tradisi ini masih dapat kita telusuri dari cerita-cerita rakyat yang ada di dalam masyarakat. Ada cerita rakyat dayak Kanayant’ yang manyatakan bahwa tradisi tradisi mengayau ini sudah ada semajak dahulu. Bahkan ketika hidup manusia masih berdekatan dengan para dewa.
Penelusuran sejarah tradisi mangayau ini dapat dimulai dengan menelusuri data sejarah penyebaran bangsa-bangsa yang ada di seluruh nusantara, secara khusus di pulau kalimantan. Berdasarkan penyebaran suku bangsa yang ada, dipercaya bahwa suku dayak itu berasal dari daratan cina selatan khususnya di daerah Yunan. Perpindahan ini terjadi kira-kira 3000-an tahun yang lalu. Bahkan dalam penyebaran ini terdapat rute masuk yang berbeda. Suku dayak di daerah Kal-bar masuk ke kalimantan tanpa terlebih dahulu singgah di sumatra dan jawa, sedangkan suku dayak di Kal-teng dan Kal-sel terlebih dahulu singgah di sumatra dan jawa. Sehingga menurut Edi Penebang, tradisi tradisi mengayau di kalimantan sudah ada semenjak masa awal itu.
Tetapi pada tahun 1894, pemeritah Hindia Belanda mengudang semua kepala suku (Te/Timenggung) subsuku dayak yang ada di seluruh kalimantan baik itu di bawah pemeritahan Belanda maupun Inggris meliputi Serawak, dll. Pertemuan pertama seluruh suku dayak yang membahas tradisi mengayau itu diadakan di wilayah Kalimantan Tengah, bertempat di Tumbang Anoi. Namun berdasarkan pengakuan dari beberapa kepala suku, tradisi mengayau itu masih berlangsung hingga tahun 1930-an oleh beberapa subsuku dayak seperti subsuku dayak Iban dan Punan, dll. Namun secara perlahan, kehadiran Gereja dan pendidikan menyebabkan tradisi ini lenyap. Dengan ada konflik antara Dayak dan Madura, tradisi ini seperti bangun dari tidurnya dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa dan harta benda.
Tradisi Mengayau Sebagai Sebuah Kebudayaan
Banyak orang memandang tradisi tradisi mengayau itu menyeramkan dan tidak berprikemanusiaan. Oleh karena pandangan yang demikian, ada yang melihat bahwa tradisi tradisi mengayau itu bukanlah suatu manifestasi dari kebudayaan. Namun, ada juga yang masih memandangnya sebagai manifestasi kebudayaan, hanya saja dipandang dalam tataran kebudayaan primitif.
Adalah terlalu berlebihan mereduksi kebudayaan ini hanya sebatas kekerasan. Apalagi penilaian itu hanya dari sudut pandang orang-orang non-dayak. Penting kiranya menilai sesuatu kebudayaan dengan menyertakan juga orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam hal ini, perlu kiranya juga melihat tradisi mengayau dari sudut pandang orang dayak sendiri. Tradisi mengayau bagi orang dayak tetaplah dipandang sebagai sebuah kebudayaan yang memiliki nilai yang dalam. Mengikuti pola pemahaman iceberg tentang kebudayaan, pemahaman orang dayak tentang tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan dapat dibenarkan. Ada beberapa point dalam tradisi mengayau yang ternyata memuat dan menunjukkan bahwa tradisi mengayau adalah sebuah kebudayaan, seperti :
a. Ritual dalam Tradisi mengayau ( Doing )
Tradisi mengayau sebagai suatu tindakan mencari kepala musuh tidaklah dilakukan secara sembarangan dan tanpa mengenal ritual. Secara sederhana ada dua bagian ritual yang harus diperhatikan sebelum dan sesudah tradisi mengayau. Ritual itu biasanya dipimpin oleh seorang iman aya’ (imam besar) di padagi atau panyugu ( tempat keramat ). Ritual pertama adalah nyaru tariu - suatu upacara dimana imam yang memimpin upacara dengan berteriak secara keras sebanyak 3-7 kali. Setiap orang yang mendengarnya bisa memperoleh keberanian untuk berperang, tetapi juga dapat menjadi lemah ( tidak bersemangat ) dan bahkan mati. Tujuannya adalah untuk memanggil kamang (mahluk seperti manusia tetapi tidak kelihatan) untuk mendapatkan kekuatan. Ritual yang kedua adalah nyimah tanah (mencuci tanah dari segala pertanda jahat), notokng (upacara membuang dasa dan menghormati kepala) yang jumlahnya ada tujuh, dan penyasah hutan (upacara melemahkan dan membersihkan diri baik itu pengayau maupun daerah tempak mengyau dari roh-roh jahat). Ada suatu kepercayaan bahwa banyaknya tenkorak kepala manusia pada suatu subsuku akan membawa keuntungan dan berkat. Semakin banyak semakin banyaklah keuntungan dan berkat yang diperoleh.
b. Religiusitas Dalam Tradisi mengayau ( Thinking )
Tradis tradisi mengayau suku dayak tidaklah dapat dilepaskan dari religiusitas orang dayak sendiri. Religiusitasnya tanpa dalam setiap upacara adat yang selalu mengaitkannya dengan “ Yang Ilahi”. Setiap subsuku dayak memiliki kosep ilahi dan nama ilahinya sendiri-sendiri. Ada yang menyebutnya duwata, Jubata dan masih banyak lagi yang lainnya. Dalam tradisi mengayau pun yang ilahi ini tidak dapat dilepaskan, baik sebelum, selama dan sesudah tradisi mengayau.
Pada upacara “nyaru tariu” imam aya’ memanggil kamang untuk membantu orang akan pergi tradisi mengayau. Kamang itu sendiri dalam subsuku kanayant disejajarkan dalam kelompok para ilahi. Ia berada pada tingkatan yang terendah dari kelompok ilahi. Tempat pertama adalah Batara Guru, kemudian disusul secara berjenjang yakni jubata, dewa dan kamang. Penyertaan kamang selama tradisi mengayau dibutuhkan agar selama mangayau mereka dapat menjadi kuat.
Ada kepercayaan suku dayak bahwa apabila orang yang sedang tradisi mengayau itu mati karena ikut tradisi mengayau atau dikayau, maka arwahnya akan langsung masuk surga (subayan). Di subayan, mereka hanya bersenang-sengan saja dan bermain gasing. Jadi ada suatu kehormatan bila mati ketika tradisi mengayau. Orang dayak mempercayai bahwa ketika seorang mati maka mata kiri akan menjadi hantu dan mata kanan akan menjadi manusia di subayan.
Tradisi mengayau ini diakhiri dengan berbagai upacara untuk membersihkan dan melemahkan rasi (pertanda) jahat dari wilayah mereka ketika tradisi mengayau itu dilangsungkan. Karena selama tradisi mengayau tanah telah menjadi panas akibat segala hal yang jahat. Ada beberapa upacara adat yang harus dilakukan, yakni pati nyawa, pungut besi, sangga parang, palangka, panubah, dan teutama penyasah tanah. Pada upacara penyasah tanah, kehadiran yang ilahi sungguh dianggap penting. Salah satu doa kepada jubata berbunyi: “kami memelihara/membantu jubata seperti jubata membantu/memelihara kami”. Jadi Tuhan atau yang ilahi mempunyai tempat penting dalam tradisi tradisi mengayau.
c. Nilai-Nilai Dalam Tradisi mengayau ( Feeling )
Ada sekitar 400-an subsuku dayak yang ada di kalimantan. Dengan demikian, ada sekian banyak pula nilai-nilai yang hendak mereka raih, perjuangkan dan hidupi. Jumlah subsuku yang banyak ini tentu juga memuat banyak nilai yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Sudah berang tentu, ada kesulitan untuk mengambil posisi yang tepat atas perumusan nilai-nilai tradisi mengayau itu sendiri. Akan tetapi, tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan memiliki nilai-nilai umum yang hendak diraih, diperjuangkan dan dihidupi. Nilai-nilai itu dapat dilihat dari motif-motif dari tradisi mengayau itu sendiri. Adapun nilai-nilai umum tradisi tradisi mengayau itu adalah :
1. Melindungi pertanian
2. Mendapat tambahan daya, jiwa.
3. Balas dendam
4. Daya tahan berdirinya suatu bangunan
Selain keempat nilai umum ini, ada beberapa nilai yang juga mendapat prioritas dalam tradisi tradisi mengayau, seperti keperkasaan, tanggung jawab, harga diri, kekuasaan, dan juga dapat dinilai sebagai mas kawin pria kepada pihak wanita.
Secara umum, ketiga hal yang telah dibahas baik itu ritual, religiusitas, maupun nilai-nilai dari tradisi mengayau telah memperlihatkan inti penting dari suatu kebudayaan. Suatu kebudayaan menurut teori iceberg terdiri dari doing, thinking dan feeling. Ketiga hal ini tenyata ada pada tradisi tradisi mengayau itu sendiri. Ritual dan juga tindakan mengayau masuk pada bagian doing; religiusitas masuk bagian thinking; dan nilai-nilai tradisi mengayau masuk pada bagian feeling. Dengan demikian, tradisi tradisi mengayau dapat dikelompokan sebagai sebuah kebudayaan.
Posisi Tradisi mengayau Sebagai Sebuah Kebudayaan
Kebudayaan menurut Van Peursen terdiri dari tiga tahap, pertama adalah mitos, kemudian secara berurutan adalah ontologi dan fungsional. Ketiga tahap ini memiliki karkater dan fungsi masing-masing. Lalu, tradisi mengayau sebagai sebuah kebudayaan tentu berada pada salah satu dari ketiga tahap ini. Penentuan posisi tradisi mengayau itu sendiri tidak dapat lepas dari karakter yang dimiliki oleh tradisi mengayau itu sendiri.
Dua karakter yang tampak dari tradisi tradisi mengayau yang juga terkait dengan tahap mitos, pertama adalah individu selalu terkait dengan komunitasnya. Komunitas di sini berarti termasuk dalam salah satu subsuku atau juga termasuk dalam salah satu rumah panjang. Rumah panjang dapat didiami oleh beberapa keluarga. Dan setiap subsuku dapat memiliki beberapa rumah panjang. Berkaitan dengan tradisi tradisi mengayau sendiri, tradisi ini tidaklah dapat dilakukan oleh seorang pribadi saja tetapi harus dalam satu kelompok yang terdiri minimal 2-6 orang atau 2-30 orang. Kelompok ini harus berasal dari dari subsuku yang sama atau rumah panjang yang sama.
Kedua adalah keterkaitan baik itu komunitas maupun individu dengan alam. Alam dipandang memiliki relasi yang amat dalam dengan manusia. Relasi itu menuntut keserasian yang perlu dijaga. Kaitan antara alam dan manusia dalam tradisi tradisi mengayau tampak tatkala para pengayau (orang yang mengayau) itu harus memperhatikan suara burung bila ingin berhasil tradisi mengayau. Selain itu, ada gagasan atau kepercayaan bahwa kepala hasil tradisi mengayau itu dapat menghindari atau mengatasi bencana alam, hama maupun penyakit. Hal ini tentu disertai dengan upacara adat tertentu. Jadi, alam selalu memberi pesan bagi manusia dan manusia merasa selalu berkaitan dengan alam.
Ada tiga fungsi mitos menurut Van Peursen, yakni menyadarkan manusia bahwa ada kekuatan-keuatan ajaib, menjamin masa kini, dan memberi pengetahuan tentang dunia. Tradisi tradisi mengayau sendiri tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan akan adanya kekuatan-kekuatan ajaib. Kekuatan-kekuatan ajaib itu berupa kamang, bala bantuan berupa ranting dan daun-daun, kebal terhadap senjata, dapat menghilang, dll. Tradisi mengayau juga memberi keyakinan bagi masa kini. Sebagai contoh adalah kepala-kepala hasil mengayau itu dapat mengantisipasi dan meredakan bencana alam, hama yang memunahkan tanaman, dan wabah penyakit. Bahkan kepala-kepala hasil mengayau itu menentukan keberhasilan panen. Selain itu, tradisi mengayau pula memberi pengetahuan tentang dunia yang tampak dari kepercayaan orang dayak bahwa kepala merupakan tempat utama sumangat (Jiwa). Apabila seseorang maupun suatu kampung memiliki banyak koleksi tengkorak kepala manusia maka orang itu maupun kampung itu akan memperoleh banyak berkat, keuntungan, dan kekuatan supranatural dalam menghadapi bencana alam maupun serangan dari subsuku lainnya.
Kekuatan magis mau tidak mau merupakan konsekuesi yang sungguh jelas dari tahap mitos. Dan hal inilah tampak dari daya-daya magis dari orang yang mengikuti mengayau, di mana orang itu akan kebal terhadap senjata, dapat mengihilang dll. Selain itu juga, kekuatan magis menjadi point utama yang menonjol dari setiap upacara adat. Ciri-ciri yang ditunjukkan oleh tradisi mengayau memang menempatkannya pada tahap mitos. Namun, tidak berarti bahwa ciri-ciri ontologi dan fungsional juga tampak pada tradisi tradisi mengayau.
Penutup
Tradisi mengayau sebagai salah satu tradisi dayak pada kenyataan memberi image negatif yakni kebudayaan primitif. Gambaran negatif ini disatu sisi benar, tetapi dilain sisi gambaran ini juga salah sehingga harus pula dibenarkan. Apa yang telah penulis upayakan ini merupakan suatu upaya untuk meluruskan pandangan yang kurang tepat itu. Patut disadari bahwa tradisi mengayau walaupun memiliki image yang negatif masih tetap merupakan suatu budaya. Alasannya adalah bahwa dalam tradisi mengayau itu sendiri terdapat hal-hal seperti Ritual, religiusitas, dan nilai-nilai yang memperlihatkan kedudukkannya sebagai sebuah kebudayaan. Selain itu - terlepas bahwa tradisi mengayau memuat ekses berupa menghilangkan nyawa orang lainnya - tradisi mengayau memilikinya logika sendiri.
Daftar Pustaka
Beda, Adrianus. “Mengayau Dalam Kebudayaan Dayak” dalam Pergulatan Berteologi dan Berfilsafat Seorang Calon Iman, Rofinus Jas SVD (ed). Malang : Seminari Tinggi Surya Wacana SVD. 2008.
Penebang, Edi. Dayak Sakti : Tradisi mengayau, Tariu, Mangkok Merah. Pontianak : Institut Dayakologi. 1998.
Peursen, C. A., Van, Prof., Dr. Strategi Kebudayaan. Jakarta : BPK Gunung Mulia. 1976.
Rabu, 25 Agustus 2010
Manusia dan Budaya
Mengamati hidup dan kenyataan yang melingkupi dunia ini, kita akan dibuat takjub dengan berbagai hal yang ada. Salah satu hal yang menakjubkan dari dunia ini adalah manusia. Manusia memiliki banyak kelebihan selain kekurangan yang juga ada di dalam dirinya. Nah, kelebihan yang ada pada manusia ini ditampakkan dalam berbagai bentuk. Dan, kelebihan itulah yang boleh kita sebut sebagai potensi yang di mililki oleh manusia. Manusia memiliki banyak potensi yang membutuhkan aktualisasi. Ketika manusia mengaktualisasikan segala potensi yang dimiliki, maka muncullah yang namanya budaya.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Aristoteles tentang potensi dan aktus. Mengambil ide ini, manusia itu potensi yang harus diaktualisasilkan agar ia menghasilkan sesuatu. Apa yang dihasilkan oleh manusia dari potensi-potensi itu dapat berupa peristiwa, barang, simbol dan bahasa, dll. Boleh dikatakan bahwa hamper seluruh karya cipta manusia itu adalah budaya itu sendiri. Tulisan ini berupaya melihat manusia dan budaya yang merupakan hasil dari manusia itu sendiri. Selain itu, tulisan ini juga berupaya melihat budaya dunia sekarang ini. Tentu, pengamatan atas budaya dunia ini beranjak dari unsure-unsur budaya yang akan penulis paparkan pada bagian selanjutnya. Dan, tidak lupa juga penulis menyisipkan sebuah pengamatn singkat berkaitan dengan interrelasi manusia dan budaya.
Manusia
Sudah semenjak lama, manusia mencari definisi dirinya(manusia), dan juga keberadaannya di dunia ini. Demikian juga sudah banyak defenisi yang telah dihasilkan guna menjawabi pertanyaan ini. Namun, pertanyaan ini belum juga berahasil dijawab olelh manusia. Manusia mempertanyakan dirinya karena manusia merasa bahwa keberadaan dirinya tentu mempunyai maksud. Dan, maksud itu tentulah mempunyai arti. Nah, arti inilah yang membuat manusia itu sebagai manusia sekarang ada di dunia ini. Kedua hal – defenisi manusia dan eksistensi manusia – tidak dapat dipisahkan. Apabila menjawab satu pertanyaan yang ada, maka pertanyaan yang lain pun akan terjawab pula.
Terlepas dari segala polemik dalam upaya mencari arti manusia itu, kita harus mengakui bahwa sampai dengan saat ini pertanyaan apa itu manusia belum juga benar-benar memuaskan manusia sebagai keseluruhan dirinya. Sullitnya mencari defenisi manusia hal ini dikarenakan manusia itu mahluk yang kompleks. Semakin komplek sesuatu, semakin sulit pula menemukan saripati dari sesuatu yang hendak diambil. Walaupun sudah sekian banyak telaah yang dilakukan guna mendefenisikan manusia. Dan sudah banyak sudut pandang serta ahli yang berkutat dalam hal ini, mereka selalu berada di jalan yang buntu. Walaupun demikian, kita harus memiliki suatu defenisi yang harus dipegang, agar tidak mengalami kegoyahan.
Defenisi yang sering digunakan terhadap manusia adalah manusia itu mahluk rasional. Defenisi ini hendak menunjukkan kepada kita bahwa manusia itu berbeda dari binatang dan ciptaan lain karena memiliki rasio. Defenisi ini jelas memiliki kelemahan. Kelemahan defenisi ini ialah mengabaikan aspek rohani dan aspek lainnya. Walaupun demikian, defenisi ini cukup membantu kita memahami posisi manusia nantinya dalam memahami kaitannya dengan budaya.
Budaya
Ada banyak perdebatan di antara para ahli tentang defenisi budaya. Defenesi budaya yang ada sekarang ini cenderung sesuai dengan bidang telaah yang dipakai oleh para ilmuan. Sehingga ada defenisi budaya menurut sejarah, anthropologi, sosiologi, dll. Namun, dalam budaya ada banyak nilai. Nilai-nilai inilah yang tersimpan dalam setiap budaya di dunia ini. Sama seperti manusia, budaya itu kompleks dan kekomplekkan ini justru membuat budaya itu sulit pula diberi arti. Kekomplekkan ini mengandaikan ada banyak unsur dan faktor di dalamnya. Pada kesempatan ini, kita akan melihat unsur dan faktor yang membentuk budaya.
A. Unsur budaya
Kekomplekan budaya hendak menunjukan bahwa ada banyak hal yang menyusun budaya. Yang hendak ditunjukan di sini hanyalah pambagian yang sangat sederhana atas budaya
1. Unsur subjektif
Seperti yang sudah diutarakan sebelumnya bahwa budaya itu mengadung nilai. Nilai-nilai inilah yang pada awalnya ada pada manusia. Manusia itu dilihat sebagai subjek yang memilli nilai. Kepemilikan atas nilai ini menjadikan manusia harus mengatualisasikannya dalam dunia. Terlepas bagaimana manusia mengaktualisasikan nilai-nilai itu sendiri. Manusia, dalam ide apriori, sudah memiliki nilai itu. Kepemillikan atas nilai itu sah hanya ada pada menusia. Sedangkan pada ciptaan lain hal ini tidak dapat dijamin keberadaanya. Jadi unsur subjektif budaya adalah manusia dengan nilai-nilail yang terpatri di dalam diri manusia itu sendiri.
2. Unsur objektif
Penjelasan atas unsur subjektif, sebenarnya, menghantar kita untuk memahami unsur objektif. Unsur objektif itu sendiri merupan hal-hal yang terjelmakan dari nilai-nilai yang sudah tampak dari unsure objektif. Nah. Unsur objektif ini dapat dalam berbagai bentuk. Segala bentuk unsur objektif ini, dapat berupa sistem masyarkat, tata hidup, pola bercocok tanam dan banyak lagi. Semuanya itu muncul dari nilai-nilai yang sudah dianut oleh manusia. Secara sederhana, unsur objektif dari budaya ialah ilmu pengetahuan, teknologi, social, ekonomi, seni dan agama.
B. Faktor budaya
Apa yang dimaksukan dengan faktor budaya lebih merupakan hal-hal yang mendukung terbentuknya budaya. Dengan maksud ini, kita akan melihat bagaimana budaya itu sebagai bagian dari manusia juga mendapat dukungan pengaruh dari dunia ini. Hal-hal yang mendukung terbentuknya dunia adalah rasionalitas manusia. Manusia dengan kelebihan rasionalitas ini dimampukan untuk mengungkapkan segala nilai yang ada di dalam dirinya. Apa yang telah dihasilkanoleh manusia ini kemudian terus mengalmi pengolahan. Dalam pengolahan ini, ada sebagaian orang yang beranggapan bahwa budaya mengalami evolusi, lain pihak lagi yang mengatakan mengalmi degradasi. Habitat juga turut mempengaruhi budaya. Habitat di sini, yakni topografi, iklim dan demografi. Selain itu, factor lainnya dlaan dialektiga antar tantangan dan jawaban. Maksundya adalah setiap tantangan atau rintangan dari tingkat yang sulit hingga rang kurang sulit juga mempengaruhi cara manusia menanggapi. Biasanya semakin sulit suatu tangangan budaya yang dihasilkan juga semakin besar, demikian juga sebaliknya.
Perlulah diingat bahwa suatu budaya tidak dapat dikatakan ia berkembang atau baik, ketika teknologinya semakin maju atau seni dan sastranya berkembang dengan pesat. Budaya itu dikatakan berkembang ke arah yang maju ketika ada keseimbangan. Keseimbangan yang dimaksud adalah antara nilai-nilai yang ada dalam diri manusia dan hasil penerapannya dalam budaya memiliki keseimbangan. Hal ini tampak ketika yang dihasilkan bukanya membuat manusia berada dalam keteracaman justru sebaliknya nilai itu hidup dan semakin memanusiakan manusia.
Interrelasi manusia dan budaya
Manusia ada demikian juga budaya karena keduanya tidak bisa terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Tidak pernah satu mendahului yang lainnya. Keberadaan keduanya sudah terberikan demikian. Manusia melalui kemampuan rasionlitasnya mampu mengungkapan nilai-nilai apriori kedalam dunia. Disinilah letak peran manusia dalam budaya. Dan budaya sendiri membuat manusia dan nilai-nilainya teraktualisasi dalam dunia. Apa yang teraktualisai muncul dalam berbagai bentuk.
Posisi manusia dalam budaya diungkapkan dalam tiga tingkatan. Ketiga tingkatan itu menunujukan bagaimana nilai yang sudah ada pada unsur subjektif. Posisi manusia dalam kaitannya dengan budaya tampak ketika manusia itu menggunakan ketiga tingkatan ini. Tinkatan dalam pengertian ini tidak boleh dipadanga sebagai tahap-tahapan. Semuanya lebih pada ketiga ciri nilai yang ada pada manusia. Ada pun ketiga nilai itu adalah :
Nilai umum
Manusia dari awalnya sudah memiliki nilai-nilai yang sama sehingga dimanapun keberadaannya terdapat nilai budaya yang sama pula dan penghayatan atasnnya pun memiliki ciri yang sama pula.contoh bagaimana kisah kebijaksanaan raja Salomo juga tampaka dalam suatu kisah di India.
Nilai spesialisasi
Pada masing-masing budaya bahkan individu terdapat nilai yang menjadi milik sendiri dan itulah ciri yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Hal yang demikian dapat kita kelompokan sebagai nilai spesialisasi.
Nilai alternatif
Ada kalannya bahwa nilai yang dianut oleh individu tidak lagi cocok bagi dirinya. Nah, pada saat demikian, individu itu akan mencoba mencari bentuk atau lebih tetapnya nilai lainnya. Nilai inilah yang kemudian dikenakan oleh dirinya. Dengan demikian, nilai itu menjadi nilai alternatife bagi dirinya.
Budaya pada masa kini
Pada dasarnya sulit untuk mengelompokan atau menentukan budaya pada masa kini. Kesulitan itu dikarenakan adanya peperangan konsep yang berupaya saling mempengaruhi antara satu dengan yang lain. Untuk sejenak, kita tidak menghiraukan kesulitan yang ada. Lalu, yang kita akan lakukan adalah menelusuri kebudayaan yang sekarang kita alami melalui pengamtan berdasarkan unsure-unsur budaya yang sudah tertera diatas, secara khusus pada unsur objektif. Pertama-tama, kita akan melihat salah satu unsur budaya yang ahkir-ahkir ini perkembangannya sungguh pesat. Unsur yang dimaksudkan adalah teknologi. Berdasarkan pengamatan, (unsur) teknologi yang ada sekarang terjelmakan dalam rupa virtual.
Virtual yang dimaksudkan adalah perkebangan teknologi informatika dan dunia maya yang mempersingkat ruang dan waktu. Dalamkaitan dengan hal itu, kita dapat mengatikan unsure ini dengan “Budaya” virtual ini tidak dapat lepas dari begitu pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Apabila kita membandingan antara masa ini dengans seribu tahunyang lalu, maka perkembangan ilmu pengatahuan masa kini sungguh begitu pesat. Perkembangan ilmu pengetahuan menyebabkan peningkatan teknologi. Perkembangan teknologi menyebabkan perubahan dalam interaksi sosial. Kaitan antara unsure sosial dan teknologi ini dijelas dengan adanya banyak situs pertemanan seperti twitter, facebook, dll yang jelas memanfaatkan teknologi informatika.
Kehadiran situs pertemanan ini membawa dampak bagi kehidupan sosial masyarakat. Bahkan hadirnya situs-situs ini, relasi yang biasanya dibatasi oleh ruang dan bahkan waktu semakin tidak tampak lagi. Perbedaan waktu dan ruang bukanlah suatu hal perlu dipermasalahkan lagi bagi jaman ini. Kita telah melihat realitas yang ada di dalam masayarakat kita, bahwa computer, smartphone dan masih banyak lagi bukanlah barang. Semua alat-alat itu menjadikan dunia sosial kemasyarakatan menjadi lain sama sekalil dengan 20 atau 30 tahun yang lalau.
Perkembangan unsur ekonomi tampak dalam keadaan ekonomi dunia juga menjadi berubah. Ekonomi dunia yang dahulunya dikuasai oleh barat kini prelahan-lahan mulai dikuasai oleh cina, jepang, korea yang merupakan raksasa ekonomi timur, yang tak lain adalah asia. Demikan juga kesenian yang berkembang saat ini, dunia seni sekarang menjadi beragam dan tidak juga berkiblat pada eropa. Walaupun, banyak hal terpengaruh oleh eropa, tetapi cirri kemultian sungguh tampak jelas. Unsur agama pun memperlihatkan pergeseran di mana, hidup bantin ketimuran sekarang marak digandrungi, baik barat maupun timur sendiri. Demikianlah, dunia sudah mengalami perubahan kebudayaan. Dapat dikatakan bahwa sekarang budaya yang muncul adalah budaya global. Budaya global maksudnya adalah sebuah budaya percampuran, baik itu timur maupun barat.
Selasa, 20 Juli 2010
Ketidakjelasan menjelaskan kejelasan ; kejelasan menjelaskan ketidakjelasan
Lanjutan edisi sebelulmnya
Membahas satu persatu setiap istilah yang telah dipergunakan oleh banyak filsuf besar itu, saya kira tidaklah efisien karena pada intinya hendak mengatakan bahwa kita, manusia tidak dapat melihat, memahami dan mendalami sesuatu sebagai dirinya sendiri dan diri kita dan bahkan kita mampu memahami diri sendiri dan diri yang lain. Saya semakin senang para pembaca semakin pusing dengan apa yang sedang saya tulis ini, sebab hal ini menandakan anda sekalian telah sampai pada pemahaman yang sungguh tinggi. Adalah tidak mungkin dan mungkin memahami sesuatu yang jelas dan juga tidak jelas.
Inilah yang semakin rumit dari penjelasan ini, manusia kerapkali mencoba memahami sesuatu yang dirinya sendiri tidak mengenal secara lebih baik. Siapakah di antara seluruh umat manusia ini yang dapat mengenal diri secara lebih baik dan tepat? Semakin manusia mencoba mengupas segala yang pada dasarnya tidak jelas ini, manusia semakin menjelaskan bahwa dirinya jelas dalam ketidakjelasan. Bahkan ketika penulis mencoba menguraikan hal ini jelas bahwa penulis sendiri tidak jelas. Batas dan ketidakterbatasan manusia pada kenyataannya telah membunuh menusia itu sendiri dan bahkan menghidupkan manusia itu sendiri.
Jelas dan ketidak jelasan itu bukanlah milik siapa-siapa dan bahkan harus bagaimana juga seperti membaca chiffer-chiffer dalam karya karl jasper. Biarla ini jelas dalam ketidak jelasan dan jelas dalam ketidakjelasan.
Membahas satu persatu setiap istilah yang telah dipergunakan oleh banyak filsuf besar itu, saya kira tidaklah efisien karena pada intinya hendak mengatakan bahwa kita, manusia tidak dapat melihat, memahami dan mendalami sesuatu sebagai dirinya sendiri dan diri kita dan bahkan kita mampu memahami diri sendiri dan diri yang lain. Saya semakin senang para pembaca semakin pusing dengan apa yang sedang saya tulis ini, sebab hal ini menandakan anda sekalian telah sampai pada pemahaman yang sungguh tinggi. Adalah tidak mungkin dan mungkin memahami sesuatu yang jelas dan juga tidak jelas.
Inilah yang semakin rumit dari penjelasan ini, manusia kerapkali mencoba memahami sesuatu yang dirinya sendiri tidak mengenal secara lebih baik. Siapakah di antara seluruh umat manusia ini yang dapat mengenal diri secara lebih baik dan tepat? Semakin manusia mencoba mengupas segala yang pada dasarnya tidak jelas ini, manusia semakin menjelaskan bahwa dirinya jelas dalam ketidakjelasan. Bahkan ketika penulis mencoba menguraikan hal ini jelas bahwa penulis sendiri tidak jelas. Batas dan ketidakterbatasan manusia pada kenyataannya telah membunuh menusia itu sendiri dan bahkan menghidupkan manusia itu sendiri.
Jelas dan ketidak jelasan itu bukanlah milik siapa-siapa dan bahkan harus bagaimana juga seperti membaca chiffer-chiffer dalam karya karl jasper. Biarla ini jelas dalam ketidak jelasan dan jelas dalam ketidakjelasan.
Kamis, 03 Juni 2010
Label : "Unlimited"

pendahuluan
Hidup ini kadang perlu diciptakan dan menciptakan. Inilah awal dari sebuah kehidupan. Tuhanlah yang menciptakakan kita - aku dan kalian semua. Seluruh yang ada memang diciptakan oleh Dia yang tak terjangkau dengan daya nalar, daya rasa dan segala daya yang dimiliki oleh manusia. Benarlah bahwa manusia dengan segala daya tidak dapat menjangkau apa, dimana, bagaimana dan segala hal tentang Dia. Tetapi, Dia tidak membiarkan kita tidak memahami dia. Terlepas dari semaunya itu. Saya tidak mengajak para pembaca untuk masuk pada kenyataan yang tak dapat kita semua selami kecuali oleh rahmat wahyu yang tampak dalam agama-agama dunia ini. Pada tulisan, kali ini, penulia hanya akan mengajak pembaca melihat dan menyadari sejenak fakta tentang Tuhan yang tak terselami itu. Fakta yang penulis maksudkan adalah KE-unlimited-an Tuhan. Jadi tema dasar dari tulisan ini adalah Unlimited. Penulis menyadari pula bahwa manusia, seperti yang disadari oleh banyak agama, ternyata ikut berpartisipasi dalam ke-unlimited-an-NYa. Fakta ini akan menjadi jelas dari betapa kita sebagai manusia tidak banyak mengerti tentang diri kita sendiri. Bila pembaca sekalian mengenal tentang jendela Jauhari, maka pembaca sekalian akan mengerti dengan jelas apa yang disebut dengan Ke-unlimetad-an dalam memahami manusia. secara sederhanya adalah kita tidak pernah dapat paham diri kita secara utuh demikian juga dengan orang lain. kita tidak pernah dapat memhami orang lain secara utuh pula. contoh sederhana adalah pasangan suami istri. walaupun sudah lam hidup berkeluarga - mengandaikan suami-istri sudah mengenal satu sama lain secara mendalam - ternyata sang suami atau istri kadang-kadang terheran-heran akan penemuan baru atas sifat sang suami atau istri yang sebelumnya tidak pernah ia kenal sebelumnya. Sigmund Frued menyatakan bahwa pada manusia itu terdapat id, ego dan superego. Ia mengatakan bahwa manuasia itu memiliki alam bawah sadar. Alam bawah sadar itu juga banyak mempengaruhi alam kesadaran manusia. Alam bawah sadar manusia itu tidak terselami bahkan Sigmund Frued memberi gambaran yang kurang lebih mewakili betapa unlimited diri manusia dengan gambaran gunung es di laut. Gunung es yang tampak pada permukaan itu hanyalah sepulu persen dan yang ada di bawah lautan itu 90 persen. sekali lagi penulis tandaskan bahwa kita berpartisipasi dalam ke-unlimited-an Allah. Nah, setelah melihat bahwa Kita juga berpartisipasi dengan ke-unlimited-an Allah, saya kemudian melihat bahwa kita juga memiliki lebel ke-unlimitredan itu. Manusia juga di dalam dirinya adalah unlimited.
Pemahaman
Unlimited pada dasarnya adalah bahasa inggris yang berarti "tak terbatas". Namun, maksud yang penulils usung dari kata ini bukan sekedar tak terbatas seperti yang tampak dalam bahasa inggris saja. Unlimited ini melampaui segala dan juga dapat pula tidak melampaui segala. Ia tidak boleh hanya dipahami sekedar penuh tetapi juga harus dipahami juga dalam kekurangan. Allah itu penuh dan sekaligus kurang. Allah bebas untuk menjadi apa saja bahkan sekali pun itu kurang atau lebih. Apabila pembaca mengenal ajaran Dao(Tao)maka pembaca akan memahami betapa la tak terdefinisikan dan tak terjelaskan. Demikian pula, unlimited, ia pada dasarnya tak dapat dijelaskan atau didefinisikan. jikalau demikian, usaha penulis dalam memberikan definisi atas unlimited akan sia-sia. Penulis pada dasarnya tidaklah menjelaskan apa itu unlimited tetapi berusaha untuk memberi gambaran terbatas apa itu unlimited. Gambaran terbatas ini pada dasarnya sudah membatasi unlimited. jadi kesia-siaan itu benar adanya.namun dengan tidak memberi kejelasan atas unlimited sama dengan membiarkan diri dalam ruangan gelap yang luas dan kosong. apabila ingin melihat konsep unlimited kita bisa melihatnya dalam To Apeiron-nya Anaximenes. Being-nya Heidegger dan Dao juga turut di dalamnya.
Tulisan ini masih ada lanjutannya nanti pada edisi berikutnya....
Senin, 10 Mei 2010
RIWAYAT HIDUP KONFUSIUS
Konfusius adalah tokoh yang terkenal dan mempunyai pengaruh yang besar dalam peradaban bangsa Cina secara. Pemikirannya sungguh meresap di dalam kebudayaan bangsa Dina. Tulisan ini mencoba menampilkan riwayat hidupnya secara singkat dan pengembaraanya selama mengujungi negara-negara kerajaan yang ada pada saat itu. Pada pemerintahan Dinasti Zhou, terdapatlah seorang bernama Chi yang bergelar Wei. Ia memiliki cucu yang menjadi seorang kepala Negara feodal Min. cucunya tersebut mempunyai dua orang anak bernama Fu-fu Ho dan Fang sze. Tiga keturunan setelah Fu-fu Ho, lahirlah Chang Kao fu, Wu dan Hsuan. Dari Chang Kao-fu inilah lahir Kong Fu Chia, yang darinya nama marga Kong berasal. Pada jamannya, Kong Fu-chia dikenal sebagai seorang pejabat pemerintahan yang loyal dan jujur Karena merasa terancam, beseteru dengan bangsawan Huang, Kong Fu-chia melarikan diri dan menetap di Lu. Selama dalam pelarian, mereka hanya yang membawa barang-barang yang diperlukan untuk di perjalanan. Karenanya tidaklah mengherankan jika ketika mereka tiba dan mulai menetap di Lu, mereka hidup dalam keadaan sangat miskin.
Setelah menetap di Lu, Kong Fu-chia berganti nama, dan dikenal sebagai Kong Fang-shu. Kong Fang-shu, mempunyai seorang anak bernama Po-Hsia. Darinya lahirlah Shu Liang-he yang tidak lain adalah ayah Konfusius. Nama formal Konfusius adalah Kong Qiu putra bungsu Shu Liang He. Ia mempunyai sembilan kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki yang cacat kakinya bernama Meng-pi. Konfusius lahir pada tanggal 27 Ba Yue (bulan 8) 551 sebelum masehi di negeri Lu, Kota Zou Yi, Desa Chang Ping di lembah Kong Song. Nama kecilnya adalah Qiu yang berarti bukit alias Zong Ni artinya Putera kedua dari bukit Ni. Konfusius dari keluarga pejuang. Ayahnya adalah seorang prajurit terkenal yang memanfaatkan militer dalam dua pertempuran dan memiliki fiefdom . Konfusius kehilangan ayahnya ketika ia berusia tiga tahun, dan kemudian ibunya, Yan Zhengzai mengambil dia dan meninggalkan fiefdom karena posisinya sebagai selir , ia ingin menghindari perlakuan buruk dari istri Shu Liang-he yang resmi. Dengan demikian, Konfusius hidup dalam kemiskinan dengan ibunya sejak kecil. Dengan dukungan dan dorongan dari ibunya, Konfusius sangat rajin dalam studinya. Ketika Konfusius berumur tujuh belas tahun, ibunya meninggal karena penyakit dan bekerja terlalu keras. Tiga tahun kemudian, Konfusius menikah dengan seorang wanita muda yang berasal dari keluarga Qiguan dari negara Song bermarga Jian Guan dan dikarunia tiga orang anak, yakni Khung Li alias Bo Yu, Gong Ye Chang serta seorang puteri lagi. Usia 20 tahun diangkat menjadi Menteri lumbung oleh Keluarga Besar Ji. Ia pernah menjabat sebagai Walikota Zhong Dou dan Menteri Pekerjaan Umum. Jabatan yang tertinggi dan terakhir adalah sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Kehakiman.
Oleh karena pada periode itu pemerintah bergelimang dalam hiduran dan serta melupakan urusan-urusan kenegaraan, serta ada konspirasi menjatuhkan dirinya, konfusius menjadi kecewa. Lalu pada usia 56 tahun ia meninggalkan negeri Lu pada hari Dong Zhi dan mulai pengembaraannya ke berbagai negeri, yakni Wei, Zhao, Song, Zheng, Cheng, Cai, dan Chu. Perjalanan itu berlangsung selama ± 13 tahun (496–483 SM). Konfusius pergi ke Wei, sebuah negara kecil yang terletak di sebelah barat Lu dan merupakan negara yang makmur. Ia tinggal di rumah seorang pejabat yang bersih bernama Yen Chau-yu selama 10 bulan. Para pejabat Wei memang memperlakukannya dengan sangat baik, tetapi mereka tidak mau menerima dan menjalankan ajarannya. Selanjutnya ia memutuskan untuk pergi ke daerah Chan yang terletak di sebelah selatan Wei, tetapi mereka singgah terlebih dahulu di negara Song. Seorang pejabat Song bernama Sima Huandui tidak senang terhadap konfusius dan hendak membunuhnya. Ia dan para muridnya pun segera melarikan diri ke Chan. Setelah menyelesaikan pengajarannya, pada tahun 494 SM, Chan mendapat serangan dari Wu. Mendengar hal ini Konfusius memutuskan untuk kembali ke Wei. Konfusius mengembara ke banyak negara, tetapi ia tidak merasa puas sebab ajarannya kurang diperhatikan oleh pihak penguasa sebagai pengatur negara dan yang memungkinkan kesejahteraaan negara. Selanjutnya Chi K’ang, anak Ding, pejabat Lu, meminta Konfusius segera kembali ke Lu. Ia berumur 69 tahun, ketika ia kembali ke Lu dan wafat 3 tahun kemudiannya di Lu pada tanggal 18 Erl Yue (bulan dua) 479 S.M., Konfusius dikebumikan di Chu Fu.
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Lyndon, Dr., Literatur Lengkap Ajaran Konfusius, terj. Drs. Alvin Saputra, Batam : Lucky Publisher , 2000.
Sumber Internet
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/10/biografi-konfusius.html (diakses tanggal, 24 maret 2010).
http://en.wikipedia.org/wiki/Confucius, (diakses tanggal, 24 maret 2010).
http://id.wikipedia.org/wiki/Kong_Hu_Cu_(filsuf), (diakses tanggal, 24 maret 2010).
http://ms.wikipedia.org/wiki/Confucius, (diakses tanggal, 24 maret 2010).
Setelah menetap di Lu, Kong Fu-chia berganti nama, dan dikenal sebagai Kong Fang-shu. Kong Fang-shu, mempunyai seorang anak bernama Po-Hsia. Darinya lahirlah Shu Liang-he yang tidak lain adalah ayah Konfusius. Nama formal Konfusius adalah Kong Qiu putra bungsu Shu Liang He. Ia mempunyai sembilan kakak perempuan dan seorang kakak laki-laki yang cacat kakinya bernama Meng-pi. Konfusius lahir pada tanggal 27 Ba Yue (bulan 8) 551 sebelum masehi di negeri Lu, Kota Zou Yi, Desa Chang Ping di lembah Kong Song. Nama kecilnya adalah Qiu yang berarti bukit alias Zong Ni artinya Putera kedua dari bukit Ni. Konfusius dari keluarga pejuang. Ayahnya adalah seorang prajurit terkenal yang memanfaatkan militer dalam dua pertempuran dan memiliki fiefdom . Konfusius kehilangan ayahnya ketika ia berusia tiga tahun, dan kemudian ibunya, Yan Zhengzai mengambil dia dan meninggalkan fiefdom karena posisinya sebagai selir , ia ingin menghindari perlakuan buruk dari istri Shu Liang-he yang resmi. Dengan demikian, Konfusius hidup dalam kemiskinan dengan ibunya sejak kecil. Dengan dukungan dan dorongan dari ibunya, Konfusius sangat rajin dalam studinya. Ketika Konfusius berumur tujuh belas tahun, ibunya meninggal karena penyakit dan bekerja terlalu keras. Tiga tahun kemudian, Konfusius menikah dengan seorang wanita muda yang berasal dari keluarga Qiguan dari negara Song bermarga Jian Guan dan dikarunia tiga orang anak, yakni Khung Li alias Bo Yu, Gong Ye Chang serta seorang puteri lagi. Usia 20 tahun diangkat menjadi Menteri lumbung oleh Keluarga Besar Ji. Ia pernah menjabat sebagai Walikota Zhong Dou dan Menteri Pekerjaan Umum. Jabatan yang tertinggi dan terakhir adalah sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Kehakiman.
Oleh karena pada periode itu pemerintah bergelimang dalam hiduran dan serta melupakan urusan-urusan kenegaraan, serta ada konspirasi menjatuhkan dirinya, konfusius menjadi kecewa. Lalu pada usia 56 tahun ia meninggalkan negeri Lu pada hari Dong Zhi dan mulai pengembaraannya ke berbagai negeri, yakni Wei, Zhao, Song, Zheng, Cheng, Cai, dan Chu. Perjalanan itu berlangsung selama ± 13 tahun (496–483 SM). Konfusius pergi ke Wei, sebuah negara kecil yang terletak di sebelah barat Lu dan merupakan negara yang makmur. Ia tinggal di rumah seorang pejabat yang bersih bernama Yen Chau-yu selama 10 bulan. Para pejabat Wei memang memperlakukannya dengan sangat baik, tetapi mereka tidak mau menerima dan menjalankan ajarannya. Selanjutnya ia memutuskan untuk pergi ke daerah Chan yang terletak di sebelah selatan Wei, tetapi mereka singgah terlebih dahulu di negara Song. Seorang pejabat Song bernama Sima Huandui tidak senang terhadap konfusius dan hendak membunuhnya. Ia dan para muridnya pun segera melarikan diri ke Chan. Setelah menyelesaikan pengajarannya, pada tahun 494 SM, Chan mendapat serangan dari Wu. Mendengar hal ini Konfusius memutuskan untuk kembali ke Wei. Konfusius mengembara ke banyak negara, tetapi ia tidak merasa puas sebab ajarannya kurang diperhatikan oleh pihak penguasa sebagai pengatur negara dan yang memungkinkan kesejahteraaan negara. Selanjutnya Chi K’ang, anak Ding, pejabat Lu, meminta Konfusius segera kembali ke Lu. Ia berumur 69 tahun, ketika ia kembali ke Lu dan wafat 3 tahun kemudiannya di Lu pada tanggal 18 Erl Yue (bulan dua) 479 S.M., Konfusius dikebumikan di Chu Fu.
Daftar Pustaka
Sumber Buku
Lyndon, Dr., Literatur Lengkap Ajaran Konfusius, terj. Drs. Alvin Saputra, Batam : Lucky Publisher , 2000.
Sumber Internet
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/10/biografi-konfusius.html (diakses tanggal, 24 maret 2010).
http://en.wikipedia.org/wiki/Confucius, (diakses tanggal, 24 maret 2010).
http://id.wikipedia.org/wiki/Kong_Hu_Cu_(filsuf), (diakses tanggal, 24 maret 2010).
http://ms.wikipedia.org/wiki/Confucius, (diakses tanggal, 24 maret 2010).
Senin, 05 April 2010
matahari sejati
matahari akan terus bersinar walaupun kita ini mati. siapakah yang dapat membatasi segala yang mungkin terjadi. hanya Allahlah yang memiliki segala kemungkinan itu. hidup tanpa Allah adalah hidup tanpa pegangan dan harapan.
Langganan:
Komentar (Atom)